Part
2
Salju
Harum
bau tanah tersiram air mewangi khas. Sudah lama sekali petani disini memimpikan
sawahnya untuk disentuh hujan. Daun-daun ketela kayu yang ditanam oleh ayah
Nana disepanjang tepi legok annya
cemberut. Hijaunya tidak menunjukkan bahwa dia pernah dijamah hujan barang
sekali. Musim benar-benar mempermainkan, sesekali Nana memandang jauh kedepan.
Jauh ke balik gunungan yang menghampar, ada perkampungan dimana Nana dan
keluarganya tinggal. Nana kecil memandang dengan senyumnya. Ada sebuah harapan
dari langit yang menggantungkan bukit. Saat-saat Nana bisa bercengkerama dengan
keluarganya, saat Nana selalu bercerita soal mimpi tentang negeri entah dimana
berada. Tidak pernah terjamah oleh pandangan kedua orang tuanya. Petani desa
yang menggelayutkan esok hari di antara batang-batang padi yang menguning.
Sejenak mata terpejam itu terhempas dari sadarnya, kembali dilirik arlojinya di
lengan kiri. Aku terbangun, kembali menjadi Nana dua puluh dua tahun yang tahun
ini merayakan ulang tahun di negeri impianku masa dulu. Hari ini diramalkan
salju akan turun di Deokjingu.
Akhirnya
saljupun tidak kuasa untuk bertahan sebentar saja diatas sana, turun dengan
lembutnya menyapa hati yang mungkin mulai lelah untuk berjalan keluar. Benar
sekali, bahwa cuaca hari ini sungguh berbanding terbalik dengan apa yang
terlihat. Salju memang sangat indah dan sedap untuk dipandang namun aku mulai
menyadari tidak sepenuhnya aku merasakan hal yang nyaman ketika berhadapan
dengannya. Dingin begitu menusuk dan membuat sekujur tubuhku terasa menggigil
dengan suhu mencapai minus 5 derajat di Deokjin-Dong Jeonju. Seperti itulah
mungkin perasaan yang aku rasakan saat ini, ketika mungkin orang lain
mengatakan bahwa itu cinta. Memang indah dan sedap untuk dipandang dengan
segala keindahan yang ditaburkan oleh pujangga yang mengatakan bahwa cinta
adalah sebuah keindahan. Namun, apa yang aku rasakan adalah sebuah
ketidaknyamanan yang teramat sangat.
Seaindainya
saja, aku bisa merasakan lebih awal musim dingin disini mungkin lebih awal aku
bisa merasakan tentang perasaanku padanya. Aku bodoh, mengapa tak kukatakan
sedari dulu aku masih mampu menatap wajahnya?. Ternyata aku terluka, saat aku
tak lagi menemukannya dalam kehidupanku. Sebuah kecanduan yang seharusnya aku
bisa antisipasi dari awal. Aku hanyalah sebutiran debu yang hampir saja
terhempas pergi tanpa pernah bisa kembali. Aku sudah mencoba sejauh yang aku
mampu, kuselipkan setiap doa dan keinginanku untuk melupakannya pada rintik
salju yang membersihkan danau Deokjin-Park dari lumpur coklat yang biasa
terlihat di musim-musim sebelumnya. Kini danau yang biasa aku lihat berwarna
coklat kehitaman telah berubah menjadi putih. Bersih. Bak hamparan kapas beku
yang nyata di depan mata. Tetapi apa, bahkan ketika rintik salju berubah
menjadi hujan pun tetap saja hanya namamu yang masih aku ingat dalam memori ruang
untuk merindukan tanah airku. Bahkan empat bulan sejak kepergianku menuntut
ilmu disini, tetap saja bayang wajahmu tidak mau pergi. Lantas apa yang harus
aku lakukan?,
Seandainya
aku sadari bahwa aku terlalu jauh, maka aku pasti akan kembali. Seandainya saja
aku terlalu melampaui batas maka aku akan pulang. Dan pasti seandainya aku tahu
sejauh itu aku bergantung padamu. Tak akan aku melanjutkannya. Satu kebohongan
telah terucap maka anak kebohongan itu akan terus lahir tanpa pernah berhenti.
Mengapa aku semakin kehabisan nafas saat aku harus kembali mengingatmu.
Seandainya aku tahu bahwa aku menyukaimu lebih dari ini. Seandainya aku tahu
bahwa aku tak akan mampu tanpamu. Seandainya saja aku tahu bahwa dikehidupan
ini kita menjadi dua orang yang tidak pernah dipersatukan atas nama cinta.
Seharusnya aku mengerti dimana tempat seharusnya aku berada. Seharusnya aku
tidak membiarkan jatuh terlalu dalam kepadamu. Seharusnya aku tahu aku akan
terluka, seperti jalan yang tak pernah aku tahu kapan akan berakhir di tikungan
antara Dongdaemun dan lampion mawar.
Lantas
siapakah aku yang terlalu rapuh?, aku adalah Kim Hana, begitulah teman
seasramaku memberi nama korea ketika aku pertama tiba di Chonbuk National
University. Apakah itu aku? tidak begitu yakin sebenarnya. Bagiku itu terdengar
seperti sebuah ejekan halus. Agar aku
tidak terlihat seperti pecundang. Pecundang yang lari dari kenyataan ke
Departemen Farmasi Chonbuk National University. Kenyataan bahwa aku tak mampu
meredam kebodohan yang teramat sangat. Kesakitan dengan cinta yang tak pernah
berhasil aku sampaikan padanya. “siapa peduli, menyukainya itu adalah
masalahku”. Memberitahukannya bukan berarti melibatkan dia dalam masalahku”. “
Aku hanya tidak ingin menyesal”. Yang pada akhirnya aku harus menyesal ketika
bahkan sedikitpun tak ada keberanian untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya
aku ingin ucapkan.
Komentar
Posting Komentar