Part 3
Pergi ke Seoul
Besok aku menghabiskan waktu liburan dari lab Departemen
Farmasi Chonbuk untuk mengungsi sementara di Seoul. Profesor Lee Sam Gyeol
sedang ada konferensi di Santiago, aku anggap sebuah hadiah dari Tuhan setelah
berhari-hari jadwal tidurku entah hancur berantakan. Dari pagi sampai pagi lagi
hanya berkutat dengan laboraturium. Tapi sesungguhnya aku bersyukur karena itu
bisa membuatku sejenak lupa. Betapa kesendirian tidak akan mudah dihapuskan
hanya karena bulan telah berganti dalam seribu purnama. Tidak akan semudah itu
tahu bagaimana cara melepaskan, dan tidak akan semudah itu aku tahu bagaimana
cara melupakan. Aku bahkan gamang harus berterimakasih ataukah bagaimana
menyikapi tugas yang semakin menggunung dari profesorku. Aku tidak pernah
mengeluh untuk apapun, bahkan untuk keadaan paling sulit sekalipun berhari-hari
aku tidak tidur hanya karena memperjuangkan nasibku untuk mendapatkan beasiswa
LPDP disini. Minggu ini di Seoul akan jadi peruntungan keduaku menghabiskan
minggu di Seoul setelah aku pernah menginap tiga hari dua malam waktu pertama
kali datang kesini.
Kubuka laptop dengan pelan, takut teman satu kamar dorm ku
terganggu. Kelihatannya dia sungguh lelah, entah bagaimana dia bisa mengambil part time di dua tempat sekaligus. Dia
menjadi pelayan di Hansot perempatan Deokjin dan juga bekerja sebagai tukang
cuci piring di daerah Iksan. Tapi memang terbayar sudah ketika akhir bulan dia
bisa membeli suatu barang baru di Geksa. Aku masih setia part time di Kimbab Chonbuk, sembari terus menulis tulisan yang aku
tidak pernah punya harapan apapun untuk itu. Awalnya aku tidak begitu tahu soal
Fang Nien, temanku dari dataran Tiongkok. Dia begitu fasih berbicara bahasa
Korea karena dulu di negara asal dia mengambil les bahasa Korea selama empat tahun, dia
juga yang banyak mengajariku belajar hingga setengah tahun keberadaanku disini
aku sudah mencapai TOPIK 3. Walaupun begitu pada awal kami bertemu komunikasi
tidak begitu lancar karena dia kurang bisa berbahasa Inggris. Tapi semakin aku
belajar menggunakan bahasa Korea, aku semakin tahu bahwa ada kesamaan diantara
kami yaitu luka tentang kehilangan orang yang kami sayangi untuk selamanya.
Bus di Jeonju Kosok Bus Terminal datang setiap 45 menit
sekali, dan besok aku akan memilih keberangkatan pada pukul 08.40. Aku
memperkirakan siang hari pasti akan sampai di Seoul. Sebenarnya bisa saja aku
mengajak Fang Nien bersama, tapi kemarin agaknya basa basiku mengajaknya tidak
semudah itu mengingat minggu ini berdekatan dengan liburan Chuseok. Tentunya
rumah makan Hansot akan lebih ramai di musim liburan dan pastinya akan sulit
bagi part timer untuk meminta izin.
Dia sudah berkata bahwa minggu ini begitu sibuk, bahkan sebelum kata pertama
ajakan ke Seoul meluncur dari mulutku. Akhirnya aku mensyukuri keberangkatanku
sendiri adalah bagian dari perjalanan hati, dimana aku akan melepaskan semuanya
disana Seoul.
Pukul tujuh pagi di musim dingin Korea tanggal 23
Desember 2015, Matahari belum diijinkan untuk melongok. Diluar masih gelap,
memang musim dingin disini akan menghabiskan siang yang lebih sebentar
dibandingkan malam. Aku sudah selesai menyiapkan segela keperluan selama
seminggu menginap di Myeongdong Guest House. Dari Seoul Kosok Bus Terminal
masih harus naik subway menuju Euljiro 3 ga tepat 20 meter dari arah barat
Myeongdong Guest House tempatku menginap. Seperti akan naik gunung, tas gunung
orange yang aku beli di pasar tanah abang Jakarta waktu itu akhirnya aku
gunakan untuk pertama kalinya disini. Sebenarnya agak sedikit kedinginan karena
jam 7 memang air hangat untuk mandi di asrama belum tersedia, biasanya air
hangat mulai jam 12 sampai malam. Aku memperkirakan pasti baru nanti malam aku
bisa mandi, maka mau tidak mau aku harus mandi sebelum berangkat, aku bukan
tipe orang yang bisa bertahan hidup dengan hanya mandi dua hari sekali kecuali
jika sedang darurat.
“Eodieso Galgoeyo?[1]”.
Tanya Fang Nien sambil tangannya meraba ke jendela tempat biasa dia menaruh
Handphone sebelum tidur.
“Seoul eso galgoeyo[2]”.
Jawabku sambil berkaca merapikan kerah winter coat.
Kamipun melanjutkan obrolan setelah Fang Nien mencuci
muka, bergegas kami bersiap untuk sarapan pagi di Sikdang[3]
asrama. Walaupun bangun pagi bukan kebiasaan dia karena dia bekerja hampir
semalaman, tapi Fang Nien tidak pernah bangun lebih dari jam delapan pagi. Itu
semua memang karena jam makan pagi asrama akan habis jika jam sudah menunjukkan
pukul 09.00 waktu setempat. Dia selalu sarapan pagi di asrama, walaupun nanti
tidak pasti apakah akan makan siang dan makan malam di Sikdang asrama karena pastinya dia akan banyak menghabiskan waktu
di Laboraturium Departemen Kedokteran Gigi CBNU. Menu hari ini adalah roti
bakar sosis babi, agar-agar dan banana
uyu atau susu pisang untuk menu umum, untuk hansik atau hanguk umsik adalah nasi merah daging
babi pedas dan kecambah. Tentunya aku memilih menu umum tanpa sosis, walaupun
kadang kalau bersama Fang Nien atau yang laiinya suka aku diperalat untuk
diambil jatah babiku untuk mereka.
Taksi kupanggil ke tangga asrama pukul 07.58, masih cukup
waktu ketika aku sampai di Jeonju Kosok Bus Terminal sebelum pukul 08.40. Tiket
seharga 12.800 won segera aku dapatkan dari loket, aku segera menuruni turunan
memutar untuk sampai di parkir bus dari loket pembelian tiket. Bus warna merah keberangkatan
pukul 08.40 sudah stay di parkiran sejak pukul delapan lebih lima belas,
ataukah mungkin sudah ada sebelum aku sampai di parkiran bawah. Akhirnya tepat
lima menit sebelum jam keberangkatan bus perlahan bergerak meninggalkan Jeonju.
Aku tertidur pulas, walaupun sebenarnya tidak biasanya aku bisa menikmati bus
tanpa merasakan pusing. List kunjungan keberangkatan hari ini cukup banyak, aku
akan mengunjungi Namsan Tower untuk kedua kalinya, Gyeongbukgung Palace yang
kemarin belum jadi kusinggahi, Myeongdong Night Market pasti akan kukunjungi
lagi seperti waktu pertama kali aku kalap membeli ojingo[4]
tiga tusuk hingga puas. Bermalam melihat kerlip lampu di pinggir Han gang (Sungai Han) yaitu naik kapal
diatas Han gang sambil menikmati
lampu dan kerlip Seoul di malam hari. Aku ingat kalau tidak salah, salah satu
adegan di drama My Love from Another Star
juga dilakukan di atas sungai Han.
Kedatanganku kedua kali ke Seoul ini ternyata disambut
oleh hujan yang tidak terlalu deras tapi cukup membuat baju basah jika
nekat menerobos. Seorang ibu sekitar
tiga puluh lima tahunan bersama anaknya yang masih balita baru saja menerobos
dari balik gedung. Si ibu berusaha untuk menghapus rintik hujan dari baju
anaknya, tetap saja basah seperti hati yang sudah basah akan jauh lebih lama
untuk menjadi kering. Akhirnya setelah melihat keadaan luar sejenak aku segera
mengambil T-Money dan menuju subway line 3 menuju Euljiro 3 ga. Myeongdong
Guest House dekat Euljiro 3 ga akhirnya di depan mata, segera aku masuk ke
resepsionis dan chek in. Kamar dengan
dua tempat tidur tapi hanya kupakai seorang diri, lumayan kasur bawah bisa aku
gunakan untuk meletakkan baju-baju. Penghangat sudah aku hidupkan, sengaja aku
hidupkan hingga 24 derajat celcius untuk sekedar mengingat hangatnya tanah airku
di seberang. Ketika aku melihat suhu di hp ternyata hanya 7 derajat celcius,
tapi rasanya lebih dingin dari Jeonju ketika mencapai 3 derajat. Entahlah, yang
jelas perutku sudah meminta untuk diisi. Akhirnya aku keluar ke tempat makan di
sebelah perempatan Euljiro 3 ga.
“Ajhumeoni, yeogiyo[5]”.
Sambil kuacungkan tangan kananku.
“Woa hangukmal jaranta[6]”.
Kata ibu-ibu pemilik warung sambil menanyakan apa yang aku pesan. Akhirnya sup
kacang khas Korea tersaji dengan minum air putih gratis yang tersedia, memang
di Korea Selatan air putih di tenpat makan gratis. Lumayan untuk menghangatkan
badan di siang hari Seoul yang nampak seperti sore akibat mendung yang masih
menggelayut. Kuputuskan untuk istirahat barang sejanak untuk mengisi kembali
energi agar sore nanti bisa mendapatkan pemandangan namsan yang luarbiasa.
Namsan masih berdiri dengan kokoh, tak peduli seberapa
banyak senja yang sudah datang dan pergi meninggalkannya. Pergi ke namsan
mengingatkanku akan hangatnya rasa Indonesia. Dimana aku tidak lagi mendengar
sekeliling berbicara bahasa Korea, namun begitu nyaring kudengar bahasa
Indonesia diperdengarkan. Mungkin efek gelombang Hallyu yang juga turut melanda
Indonesia, begitu banyak orang Indonesia yang bermimpi datang ke negeri Ini
termasuk aku. Aku pernah membaca di situs BPS bahwa kunjungan turis Korea
Selatan ke Indonesia tidak ada sepersepuluh kunjungan turis Indonesia ke Korea
Selatan. Sebenrnya siapa yang lebih kaya dan lebih suka jalan-jalan?orang Korea
atau orang Indonesia, entahlah. Tujuanku kesini bukan untuk membuat riset atau
observasi apapun, kali ini aku hanya ingin lepaskan saja. Lepaskan apapun yang
harus kulepaskan dan tidak perlu untuk kugenggam lagi. Melepaskan bahwa angan
untuk bisa membawamu melihat gembok yang dulu pernah aku bawa dari Indonesia,
gembok yang diam-diam aku tuliskan namamu sejak di tanah air untuk bisa kubawa
kesini. Ketika kamu kehilangan untuk selamanya, maka kamu akan tahu betapa
waktu akan berharga untuk mengatakan kepada orang yang kita sayangi. Bahwa aku
menyukaimu lebih dari apa yang pernah kamu tahu.
Hello mba...
BalasHapussaat ini sedang di korea selatan kah ?