Pejuang Semin


Pejuang Semin
            Hari ini cukup melelahkan bagiku, setelah turun dari SLB Dharma Putra Semin melakukan pelaksanaan program peternakan Ayam. Alhamdulilah semua berjalan dengan lancar, dari pihak Indofood sebagai donatur juga membawa beberapa wartawan yang meliput kegiatan yang terjadi di Semin. Pak Stevanus, Pak Denny, Pak Hisyam dan seluruh kru yang datang benar-benar membuat suasana di SLB Semin sangat sibuk. Kami semua paguyuban KSE UGM program pengabdian Semin berangkat sejak pagi pukul tujuh pagi ke Semin dan akhirnya kami pulang sampai di kos pukul setengah tujuh malam.
            Kami sampai di Semin sekitar pukul setengah sepuluh pagi dan kemudian mempersiapkan segala sesuatu untuk acara penyerahan program peternakan ayam serta penyuluhan yang akan dilakukan pada pukul satu siang. Rasa lelah dan panas tidak menjadikan kami para pejuang Semin menyerah justru kami sangat terbantu dengan adanya semangat dari adik-adik siswa SLB Semin yang ceria dan penuh semangat gladi bersih drum band. Mereka seakan tidak memiliki masalah dan hambatan apapun  dalam hidup mereka yang tidak selengkap kita. Rasanya cukup malu apabila kami kalah bersemangat dibanding dengan mereka.
            Aku banyak berbincang dengan adik adik siswa SLB disana mulai dari tuna netra, tuna grahita, hingga akhirnya aku sangat antusias untuk mempraktekan hasil belajar bahasa isyaratku dengan adik-adik tuna rungu wicara. Ketika mereka tuna rungu wicara masuk dalam kehidupan mayoritas masyarakat, mereka yang notabene minoritas pasti rasanya sangat terasingkan. Seperti apa yang aku rasakan kemarin, aku sendirian dan mereka bertiga mengobrol dengan bahasa isyarat dan aku yang mencoba masuk dalam obrolan mereka terkadang menjadi bahan tertawaan bagi mereka ketika aku tidak mengetahui bahasa isyarat apa yang akan aku gunakan. Tetapi satu hal yang berbeda bahwa mereka dengan sabar memberitahuku melalui tab yang dimiliki Deva, Deva menuliskan di tab tentang apa yang tidak aku mengerti dari percakapan mereka.
            Aku berfikir mungkin seperti itu rasanya menjadi minoritas yang terabaikan di lingkungan dan sangat menyakitkan apabila tidak ada yang peduli dengan mereka. Selama ini aku banyak bergaul dengan mereka, sepertinya mereka sangat bahagia menerima seorang teman dalam hidup mereka. Terutama Indah dan Bunga, setiap kali kami pergi ke Semin mereka langsung mendekat dan bercerita banyak hal dengan semangat. Indah suka curhat tentang apa saja masalah yang ada, mulai dari rasa rindu terhadap keluarga yang begitu mendalam hingga rasa sukanya terhadap seseorang. Terkadang aku tertawa dan menganggap itu hanya sebuah selingan tingkah kekanakan mereka, namun terkadang aku merasa bahwa apa yang mereka rasakan  begitu berat bagi mereka yang notabene tidak memiliki pemikiran seluas kami yang mengaku mendapat anugrah kenormalan dari Tuhan. Dengan keterbatasan mereka diberi cobaan untuk menyelesaikan persoalan mereka aku berfikir bahwa mungkin itu juga tidak mudah.
            Tidak ada seorangpun di dunia ini yang menginginkan memiliki keluarga terlahir cacat, tapi bersyukur atas apa yang kita punya terkadang jauh lebih penting daripada sekedar mengeluh atas keadaan. Angga si kecil manis kelas dua SD yang menderita tuna rungu, dia begitu tampak bahagia dan berteriak ketika melihat ibunya sudah datang menjemput. Aku tidak tahu apapun tentang difabel dan masih banyak ilmu yang perlu untuk kupelajari, aku juga manusia yang mungkin juga tidak bisa menerima ketidaknormalan. Sama seperti ketika aku belajar menerima kenyataan bahwa saat ini aku masih menderita cacat di wajahku sebelum aku bisa sukses dan operasi. Mungkin suatu saat nanti entah, tapi aku belajar dari anak-anak Semin bahwa dalam hidup ini jika kita belum bisa mengusahakan maka akan lebih baik menerima keadaan dan bersyukur atas apa yang terjadi. Ada alasan mengapa Tuhan menjadikan kita seperti ini, entah karena kesalahan kita ataukah memang keinginan Tuhan.

Komentar

Postingan Populer