Kepak Sayap Perempuan (Sebuah Catatan Perempuan dan Pernikahan)

 

Part 1

Imajinasi Tentang Perempuan dalam Lingkup Keluarga

                Tulisan ini dibuat untuk merekam jejak perjalanan babak baru kehidupanku setelah menikah. Apa yang aku tuliskan disini hanyalah bersumber dari kondisi yang  terjadi dalam hidupku, bisa jadi sangat berbeda dengan kehidupan orang lain dan tidak ada sedikitpun tujuan untuk membandingkan. Sebelum sayap benar-benar terkepak, aku akan sedikit menengok kembali ke belakang. Aku bersyukur, apa yang aku jalani saat ini ternyata adalah sebuah impian yang terwujud dari sekedar imajinasi seorang gadis biasa. Aku berharap dengan menulis, aku bisa meninggalkan jejak perjalanan bernilai yang bisa kubaca lagi saat nantinya aku sudah tidak bisa mengingat banyak memori. Bagaimana sebuah imajinasi utuh tentang perempuan dan pernikahan terbentuk dari hasil situasi kondisi yang terjadi dalam akar keluarga.

                Aku tumbuh menjadi seorang anti patriarki yang bergerak secara senyap, artinya memang belum sekaliber level Kalis Mardiasih dan yang lainnya. Tak banyak tokoh tokoh vocal yang kukenal, satu satunya yang terdekat yakni Kalis Mardiasih yang sering kutemukan tulisan tulisannya ternyata sejalan dengan yang kupikirkan. Soal bagaimana nilai perempuan itu berada pada diri perempuan itu sendiri dan bukan pada konstruksi sosial yang mengikatnya. Lahir sebagai cucu dari perempuan yang terenggut hak-hak nya hanya karena dia perempuan, menjadi satu satunya diantara saudara laki laki yang harus membantu orang tuanya untuk menjaga adik-adik lelakinya hingga tumbuh dan menjadi orang dimata masyarakat. Perempuan yang dilarang sekolah saat saudara lainnya bersekolah hanya karena dia adalah perempuan yang nanti hanya akan ikut suami, apesnya si suami juga bukan orang yang punya privilese untuk sekolah. Disitulah awal mula aku menarik akar persoalan yang akhirnya membentukku menjadi pribadi yang sangat tak menyukai patriarki.

                Keluarga nenekku dan kakekku tak memiliki apapun untuk bekal selain hanya nrimo ing pandum hidup dalam kesusahan, padahal saudara lainnya yang disekolahkan oleh orangtuanya bisa memiliki bekal setidaknya pengetahuan yang lebih luas untuk memandang persoalan hidup. Memiliki pengetahuan ataupun menuntut ilmu adalah hak setiap orang. Bagaimanapun lelaki dan perempuan adalah sama sama seorang anak dan keduanya memiliki hak sama untuk diperlakukan oleh  orangtua, begitupun nantinya aku akan memperlakukan anakku. Tidak diijinkan sekolah dan disuruh menjaga keluarga serta ikut mencari uang hanya karena perempuan adalah penolakan ideologi pertama dalam hidup yang pernah kulakukan. Bagaimana bisa saudara lelaki semua sekolah dan hanya satu orang yang tidak diijinkan untuk sekolah hanya karena dia adalah perempuan?, sungguh tak pernah masuk dalam konstruksi akal logika mudaku yang waktu itu mulai menggelora.

                Berawal dari nrimo ing pandum di level orangtuanya kemudian menurun kepada anaknya yang harus susah payah untuk bisa sekolah sampai level SMA. Ibuku sekolah hingga level SMA, bukan karena dia diijinkan dan dampak patriarki telah musnah, tapi lebih pada ibuku adalah seorang pembangkang yang pemikiran-pemikirannya menurun padaku. Tapi pada akhirnya ibuku kalah dan memilih mengorbankan mimpinya pergi ke bangku perguruan tinggi karena kehidupan sudah mendesaknya di batas maksimal. Pergerakannya memang telah terbatas dan dibatasi oleh keadaan sulit hidupnya, tapi pemikiran-pemikirannya tak pernah bisa dipenjara oleh waktu hingga akhirnya membentuk konstruksi yang utuh pada diriku. Seorang gadis desa biasa yang menentang konstruksi-konstruksi sosial ala-ala patriarki dengan cara yang tak biasa.

                Tumbuh dari keluarga yang begitu terbatas oleh patriarki membuatku menyadari, bahwa aku harus menjadi perempuan yang merdeka. Merdeka dalam artian aku mengetahui dengan sadar bagaimana bentuk utuh perempuan dan segenap keperempuanan-nya. Bisa dengan sadar memilah tugas dan fungsi perempuan secara kodrat dan secara gender, serta yang terpenting adalah mempelajari posisi perempuan dalam ajaran agama. Perempuan dan laki laki memang tidak akan pernah setara karena keduanya adalah dua hal yang berbeda tapi saling melengkapi. Aku masih terus belajar bahkan hingga detik aku menikah dan menjalani rumah tangga. Tak kusia-siakan kesempatanku untuk belajar sampai ke perguruan tinggi agar bisa lebih memahami diriku sendiri dan apa mauku dimasa depan, dari sinilah semua berawal bagaimana aku membangun konstruksi pikiranku tentang kehidupan berumah tangga.  Disinilah semua berawal, bahwa menuntut ilmu tidak pernah berkewajiban untuk tunduk pada jenis kelamin dan terbatas pada perempuan dan laki-laki semata.

               

 

Komentar

Postingan Populer