Antologi Cerpen Ananti Primadi

Ini aku sekedar share beberapa cerpen yang sudah pernah dimuat di media masa, ya meski memang cuma level lokal provinsi sih heheheha ada yang dimuat di Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat maupun Harian Jogja juga sekali di Majalah Kampus UGM Balairung.




Antologi Cerpen Ananti
Cinta untuk sang Kupu-kupu
Cerma : Ananti Primadi

Malam terasa sunyi, dingin yang datang menyelimuti juga semakin menambah aroma sepi di hati Tasya yang berhembus sejak kedatangannya ke bumi 17 tahun yang lalu. Pengawal Zee yang duduk di sampingnya tidak mampu mengubah suasana hati Tasya. Setelah Pengawal Zee bercerita panjang lebar barulah Tasya tahu apa yang sesungguhnya terjadi, Tasya merindukan tanah kelahirannya di Andrenamora, tanah dimensi ke-67 dimana Tasya  dilahirkan sebagai makhluk setengah manusia dan setengah kupu-kupu. Tasya terpaksa diasingkan ke bumi karena  kerajaan milik kedua orang tua Tasya dikuasai oleh peri jahat Premorda yang ingin mengahancurkan kerajaan Andrenamora.

“Jadi itu yang sebenarnya terjadi?, sulit dipercaya aku bukan manusia,”. Tasya berusaha memecah keheningan.
“Begitulah yang sesungguhnya terjadi, suatu saat Tasya harus kembali ke Andrenamora,”. Pengawal Zee menimpali.
“Pantas aku selalu merindukan sesuatu yang awalnya aku pikir tidak pernah ada, tapi ternyata semua itu nyata,”.
“Sebaiknya aku segera kembali, aku takut peri jahat Premorda melihat sinyal sihirku dan menemukan keberadaanmu disini sungguh itu sangat berbahaya,”.
“Pergilah jaga orang tuaku baik-baik suatu saat aku pasti akan kembali untuk menyelamatkan bangsaku meski aku tidak tahu bagaimana caranya,”.

Pagi ini di sekolah SMA PERMATA BANGSA 2 akan diadakan seminar tentang dunia sastra, siswa-siswa sangat antusias menyambut seminar ini. Rendy kekasih Tasya masih sibuk dengan catatan-catatan kecil di notebooknya, sementara Tasya masih berpikir soal jati dirinya yang sangat tidak bisa dinalar oleh akal manusia.
“Ren aku pengin tanya sama kamu, misal aku bukan manusia apa kamu masih akan tetep sayang sama aku?”. Dengan tatapan kosong Tasya bertanya kepada Rendy.
“Tasya kamu tu ngomong apa sih, ehm aku tahu kamu pasti mau ngasih aku inspirasi soal cerpen yang akan aku tulis kan?”. Senyum simpul tersungging dari wajah cerah Rendy.
“Lupakan, aku cuma ngelantur,”. Balas Tasya.
“Dengerin aku ya, apapun yang terjadi sama kamu aku akan  tetep sayang sama kamu,”.

Sepulang dari sekolah Tasya langsung merebahkan diri di kamar tidur tanpa memperdulikan ibunya yang memanggilnya untuk santap siang, suara derap langkah kaki tidak mampu sedikit saja menggeser posisi rebahan Tasya.
“Kamu kenapa sayang kok pulang-pulang langsung nyelonong ga salam sama bunda?”. Bunda Ina bertanya dengan kelemah-lembutannya padahal sesungguhnya dia tidak lupa kapan persisnya tanggal dimana orang yang dipanggil Bunda Ina menemukan bayi yang dikerubuti ribuan kupu-kupu di taman belakang rumahnya.
“Ga ada apa apa kok bun, Tasya cuma sedang memikirkan sesuatu yang entah Tasya sendiri tidak pernah mengerti”. Tasya tiba-tiba menjadi ragu untuk menanyakan kebenaran itu, ia teramat takut untuk menyakiti hati bundanya yang  teramat mencintainya.
“Ya sudah kalau begitu bunda mau ke bawah dulu siapin makan siang buat kamu”.
“Ga usah bun makasih, Tasya kan sudah besar sudah bisa ambil makanan sendiri”. Sembari tersenyum simpul.
“Bun, kalau suatu saat Tasya ninggalin bunda, apa bunda akan melarang Tasya”.
“Memangnya kamu mau pergi kemana sayang rumah kamu kan disini, ya udah bunda mau ke dapur dulu”.
Tasya merenung memikirkan hal yang menurutnya tidak bisa dinalar oleh akal yang dia miliki, namun ada hal yang selalu membuatnya percaya dengan kata-kata pengawal Zee yakni setiap kali pengawal Zee datang menemuinya Bunda tidak pernah bisa melihatnya dan juga hati Tasya yang selalu terpaut pada dunia kelahirannya. Dimensi ke 67 Andrenamora tempat bagi bangsa setengah manusia setengah kupu-kupu adalah tanah kelahiranku lalu bagaimana aku bisa sampai ke bumi dan kenapa selama ini aku tidak berubah menjadi kupu-kupu tapi tetap dalam wujud manusia, itulah Tanya yang menggelayut di benak Tasya.
“Pengawal Zee, apa yang terjadi pada kedua orang tuaku? Kenapa kau mendadak kemari?”.
“Tasya, kamu harus segera kembali ke Andrenamora, menurut ramalan manuskrip kuno cuma kamu yang bisa menyelamatkan seluruh penduduk Andrenamora dari petaka yang dibuat oleh peri jahat Premorda”.
“Kapan, sekarang?”
“Ya, tak ada waktu lagi kau harus segera kembali menyelamatkan kedua orang tuamu”.
“Pranggg”.
“Ibuuuu”.
“Siapa dia Tasya, kenapa ada di kamar kamu?, dan apa yang kalian bicarakan tentang pergi ke Andra entahlah berjanjilah untuk tidak meninggalkan bunda”.
Semua terdiam pilu, Bunda mempererat pelukannya terhadap Tasya hingga hati Tasya terasa sesak untuk berkata bahwa Tasya mampu untuk meninggalkannya.
“Bunda bisa melihat pengawal Zee?”
“Ya, aku sengaja tidak memakai sihir karena aku sangat takut peri Premorda menangkapku sebelum aku berhasil membawamu kembali”.
“Tapi izinkan aku bertemu Rendy terlebih dahulu untuk berpamitan dengannya,karena aku tidak akan tahu kapan aku bisa kembali ke bumi”.
“Baik tapi cepatlah”.
“Kau harus kembali sayang, kau harus kembali ke bunda karena disinilah rumahmu, bunda sudah merawatmu dari kamu bayi”.
“Tasya janji bun, suatu saat Tasya akan kembali untuk bunda, Tasya pergi dulu bun”.
“Hati-hati sayang”.
Berat rasa hati Tasya melepas Bunda sendiri di rumah tapi apa mau dikata, kedua orang tuanya juga membutuhkannya juga masyarakat Andrenamora yang membutuhkan pertolongannya. Rumah Rendy tampak sepi namun Tasya tetap nekat untuk mengetuk pintu. Tasya sengaja tidak memberi tahu kedatangannya kepada Rendy  Karena takut akan membuat Rendy khawatir.
“Tasya, kamu ngapain malam-malam ke rumahku, kamu sama siapa?”
“Aku sama siapa itu ga penting, yang terpenting sekarang aku ingin pamitan sama kamu”.
“Pamitan?,memangnya kamu mau kemana malam-malam begini, ayo masuk udara sangat dingin”.
“Ga bisa Ren, aku harus segera pergi sekarang, aku serius tolong kamu jangan ingat aku kalau nanti aku ga kembali lagi ke bumi”.
“Tasya benar kami tidak punya banyak waktu jika kami selamat kami janji akan kembali menemui kamu, sekarang izinkan Tasya pergi dan doakan dia bisa kembali ke bumi”.
“Aku sungguh tidak mengerti apa maksud perkataan kalian, Tasya tolong jelaskan ada apa sebenarnya”.
“Maaf Ren aku tidak punya banyak waktu aku pergi dan aku pasti akan kembali untuk kamu suatu saat nanti”.
“Tasyaaaaaaaaaaaaaa”.
Sepuluh tahun telah berlalu namun sesobek luka itu tidak jua bisa terobati bahkan kini menganga teramat lebar. Dalam pandangan Rendy, Rendy telah hidup bahagia bersama Tasya, Tasya selalu hadir dan menciptakan hari-hari yang bahagia untuk Rendy. Semua orang sangat terpukul, terutama ibu dan ayah Rendy yang mengetahui betapa besar rasa cinta yang ingin selalu diberikan kepada Tasya yang entah berada dimana. Cinta yang teramat dalam untuk kupu-kupu yang malang dari Dimensi ke-67.

Kutemukan Senyum Ryan Diantara Mereka
Cerma: Ananti Primadi
   D
edaunan masih saja dibiarkan berserakan. Hari masih begitu pagi ketika daun-daun itu menunggu untuk dibersihkan oleh pegawai kebersihan yang sebentar lagi akan datang. Suasana pagi ini tampak lengang, beberapa petugas, dokter, dan petugas jaga yang ada masih sibuk memnyambut pagi ini. Bukan sebuah rumah sakit,melainkan Panti Rehabilitasi bagi pecandu narkoba dan juga sekaligus penanganan terhadap pasien AIDS. Di situlah Aina menghabiskan separuh harinya untuk ikut menjaga dan merawat serta memotivasi korban keganasan AIDS dan Narkoba.
                “Aina,tolong kamu ambilkan obat tidur dalam lemari obat saya, pasien kamar no 23 harus istirahat selama 3 jam untuk siang ini”,perintah Dokter Andini.
*             *             *
                “KREEEEK”
                Pintu tua yang dimakan usia menyapa penghuni kamar no 23 sebelum sempat Aina memberi sapa. Semua peralatan sudah ada dalam nampan obat yang dibawa oleh Aina, tinggal menunggu Dokter Andini memasuki ruangan untuk memulai tugasnya.
                “Eh Aina, bawa apaan?”,Seloroh sang penghuni kamar yang biasa dipanggil Doni.
                Doni adalah pasien rehab dari kecanduan narkoba yang mulai berangsur pulih, tinggal menunggu pemulihan beberapa pekan lagi. Selalu pertanyaan yang demikianlah yang ditanyakan acapkali Aina datang. Sudah barang tentu obatlah dan juga peralatan yang diperlukan demi pengobatan dirinya, sungguh basa-basi yang terlalu kuno pikir Aina.
                “Apa semua sudah beres Aina?”,Tanya Dokter Andini.
                “Sudah Dokter!”,Jawab Aina.
                Segera saja Dokter Andini memberikan obat tidur untuk Doni. Selesai melakukan tugasnya terhadap Doni, Dokter Andini segera kembali ke ruangannya. Belum sempat Aina beranjak dari sisi tempat tidur Doni, tangan Doni telah lebih dulu mencengkeram erat lengan Aina.
“Aina jangan pergi, tolong temani sampai aku bermimpi indah bersamamu”,Pinta Doni.
“Tapi Don”,Balas Aina.
“Ah sudah, temani saja jangan kau banyak komentar ya cantik”,Wajah memelas mulai ditunjukkan Doni.
Duduklah Aina disamping tidur Doni yang mulai dikelabui oleh obat tidur. Wajah nan lesu  terpengaruh sisa racun yang mungkin masih tertinggal di tubuhnya. Tiba-tiba ada sesuatu yang berbeda dari wajah Doni yang dirasa oleh Aina. Senyum orang lain yang dulu pernah ada dalam kehidupan Aina. Membawa Aina terbang kembali ke masa silam, masa-masa dimana sakit yang menghantui di awal tahun.
*             *             *
“Kalau kamu tidak segera memutuskan hubungan kamu dengan Ryan, mbak akan mengatakan semua kebenaran ini kepada Ibu”,Pekik Kak Rosa yang mulai tidak mampu mengontrol emosi.
“Aku ga bisa kak, Ryan itu pacar aku dia sakit dan sangat membutuhkan aku kak!”,Tangis mulai pecah tidak bisa dibendung lagi airmata yang memenuhi pelupuk mata.
“Ryan itu kena AIDS Aina!,cobalah untuk sedikit rasional dan berfikir dewasa dan kamu tidak akan pernah mampu untuk menyagkal bahwa AIDS ditimbulkan oleh perilaku negatif!”,Kak Rosa bertambah menyala.
“Kak,Aina kenal siapa Ryan……..masih ada kemungkinan Ryan terjangkit karena kecelakaan, bukan seperti semua yang kakak tuduhkan padanya, penderita AIDS bukan untuk dibuang tapi untuk didampingi, diberi motivasi agar tetap bertahan hidup”,Tangis Aina makin tidak terkendali menghiasi ruangan tamu rumah milik Kak Rosa.
“Terserah karena apabila kamu lebih memilih Ryan berarti kamu memang sengaja ingin membuat Jantung Ibu kumat lagi!”,
Mereka berdua tidak menyadari bahwa orang yang ingin mereka jaga dari serangan jantung telah berdiri tepat di balik pintu utama yang terbuka.
Hari-hari dilalui terasa sepi bagi Aina tanpa canda dari Ryan. Benar-benar dilakukan seperti janji yang diikrarkan Aina pada Ibunya tempo hari di rumah sakit. Aina memilih untuk terdiam tanpa kata semenjak memutuskan hubungan dengan Ryan. Bagaimana kabarnya, bencikah dia padaku, begitulah selalu tanya yang muncul di benak Aina.
Selasa, tanggal 25 Januari 2009 telepon di ruang tengah berdering. Ternyata telepon dari Waluyo yang memberikan kabar bahwa Ryan telah tiada.
“Mari mbak kita pulang hari sudah semakin sore, sebentar lagi gelap”
“Brukkkkkkk”
Tubuh Aina roboh menimpa papan penanda makam milik Ryan.
*             *             *
Jari-jari mulai bergerak-gerak menandakan bahwa sang empunya akan segera sadar. Tidak diduga tangan mungil itu menyentuh sesuatu hal yang menonjol dari balik sprei kamar, sebuah diary. Tidak salah lagi diary itu milik Ryan, orang yang sangat dicintai Aina betapapum keadaannya.
5 Januari 2009
Kondisiku drop, AIDS yang hinggap di tubuhku didiagnosa oleh dokter telah ada dalam tubuhku sejak sekitar 10 tahun silam. Aku tidak pernah terpikr untuk periksa, jangankan periksa terpikir pun tidak karena memang aku tidak pernah berperilaku menyimpang. Aku ingat sewaktu kelas 4 SD aku pernah mengalami kecelakaan maut dan hampir …..karena kehabisan darah dan saat itu juga aku menerima transfusi darah untuk pertama kalinya. Mungkin darah itu sumber AIDS bagiku. Ah sudahlah, toh orang itu juga sudah memperpanjang umurku selama 10 tahun, tidak etis rasanya kalau aku masih juga menyalahkannya.
               
                Deg, jantung Aina serasa berhenti berdetak untuk menjalankan fungsinya. Antara perasaan bersalah, bahagia, dan berduka. Semua bercampur menjadi satu kesatuan. Bersalah karena harus meninggalkan Ryan, bahagia karena akhirnya semua yang Ibu dan Kak Rosa tuduhkan itu tidak benar adanya, dan berduka karena terlalu cepat Ryan meninggalkan Aina tanpa senyum manis terakhir.
                Lembar demi lembar dilewati menuju lembar terakhir yang masih kosong dan disitulah Aina mulai menulis.
                Just For Ryan
                Aku mengenalmu
                Aku tahu siapa dirimu
                Bersamamu kutemukan bahagiaku
                Ingin kukatakan sekali lagi
                Aku sangat mencintaimu
                Aku sadar atas kesalahanku
                Yang sudah meninggalkanmu
*             *             *
                “Kreeeek”
                Pintu terbuka Dokter Andini masuk dan membuyarkan lamunan Aina.
                “Aina, sekarang waktunya kamu persiapkan untuk perawatan pasien kamar 7, tolong siapkan peralatan saya,”Kata Dokter Andini.
                Diary dalam genggaman segera ditutup dan beranjaklah Aina dari sisi kamar tidur Doni. Di sela-sela istirahat siang, dibukanya kembali diary Ryan kemudian dilanjutkan menulis isi hati yang mengusik konsentrasinya.
                Betapa sesal tiada bisa berlalu
                Saat kutahu salah duga atas dirimu
                Aku tahu, merawat mereka semua
                Tak akan pernah mampu menebus salahku padamu
                Namun setidaknya aku mampu
                Melihat hidupnya senyummu
                Yang selalu membuatku meyakin
                Bahwa selalu dan selalu hati ini ada untuk mencintaimu

                Ditutupnya buku diary dengan senyum yang mengiringi doa dan sejuta pengharapan untuk Ryan yang ada di Surga.
*             *             *

Sayap Dalam Cermin
Cerma:Ananti Primadi
          Kata-kata gadis kecil itu masih terngiang dengan jelas,dengan berapi-api dia mengungkapkan segala apa yang dilihatnya.Namun sayang, tidak ada seorangpun yang percaya pada apa yang dilihatnya termasuk kedua orangtuanya sendiri orang yang sangat dia harapkan untuk bisa percaya.
          "Ibuu....lihat bu, di bahuku mulai tumbuh sesuatu seperti sayap aku senang akan punya sebuah sayap" Teriak gadis kecil itu dengan lantang sembari meraba bahu di depan cermin kamarnya. Derap langkah kaki manusia menaiki tangga terdengar seirama dengan terbukanya pintu kamar Nela.
          "Sayang kenapa belum tidur?, ibu khawatir nanti kamu sakit" Tangan lembut sesosok perempuan yang dipanggil ibu mendarat di kepalanya, mengelus dengan lembutnya.
          "Tapi ibu harus lihat Nela punya sayap bu, Nela akan bis terbang"Celoteh gadis itu dengan manjanya mengusapkan wajah di perut perempuan yang dia panggil ibu.
          "Iya ibu tahu, sekarang Nela tidur ya agar besok tidak kesiangan berangkat kesekolahnya.
          "Tapi ibu percaya kan kalau Nela punya sayap? Nela akan mengajak ibu terbang ke bulan" Tatapan yang seolah meminta sebuah kejelasan.
          "Iya ibu percaya sayang" Sembari beranjak mematikan lampu 25 watt dan menggantinya dengan lampu tidur buatan Cina.
          Akulah gadis yang bernama Nela itu, yang kini mulai tumbuh beranjak dewasa setelah kemarin merayakan ultah yang ke-17. Sama dengan apa yang pernah aku katakan dulu, sayapku akan tumbuh besar bersamaan dengan aku beranjak dewasa. Aku sendiri ragu apakah sayap ini bisa aku gunakan untuk terbang atau tidak, karena jujur aku tidak pernah mencobanya sejak ibu mengancam akan memasukkanku ke rumah sakit jiwa Santra Medika. Ancaman itu terasa sangat dalam dan menyakitkan, walaupun aku telah cukup dewasa untuk mulai bisa berfikir mengikuti dan mengerti kata orang lain. Kapan orang akan mengerti, memahami, dan mempercayaiku?, aku tidak berdusta sungguh.
          "Nela, sekarang umur kamu sudah 17 tahun. Seharusnya kamu bisa berfikir apa yang seharusnya kamu pikirkan, jika seperti ini terus ibu bisa saja memasukkanmu ke rumah sakit Santra Medika" Dengan nada sesal bercampur kesal ibuku beranjak pergi dari kamarku dan itulah saat terakhir aku membahas tentang sayap yang ada di bahuku.
          Lama setelah aku pulang sekolah memikirkan tentang diriku sendiri. Kupandangi cermin dengan seksama dan tanpa  memalingkan sedikitpun rona mataku dari cermin di kamar. Ya aku yakin bahwa yang selama ini aku lihat adalah sayap, tapi kini aku sadar dengan apa yang selama ini tidak aku pahami bahwa ternyata tidak ada seorangpun yang bisa melihat keberadaan sayapku. Aku mulai menyadari bahwa ternyata aku juga tidak bisa melihat sayapku di cermin lain selain di kamarku, dan tidak bisa aku raba sayap ini.
          "Sayang cepat tidur ya,ibu tidak mau kamu besok kesiangan".Derap langkah kaki terasa menuruni tangga.
                Masih terus aku pandangi tanpa henti, tak ingin aku palingkan lagi pandanganku dari cermin yang ada di depan mataku. Aku sungguh tidak mampu bagaimana cara melukiskan perasaanku saat ini, antara senang sedih marah dan bingung yang tidak dapat aku lukiskan dengan seksama. Aku benar-benar senang karena aku meiliki sayap yang aku bayangkan bisa seperti burung terbang bebasnya di angkasa. Rasa marah muncul karena aku selalu menemui jalan buntu setiap kali aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Aku yakin bahwa aku tidak gila dan tidak salah terhadap penglihatanku, namun yang aku ragu kenapa tidak ada yang mampu melihat sayapku.
                Hari ini aku ingin pulang lebih awal dari biasanya, namun sahabatku menekanku hingga aku terpaksa menunda kepulanganku barang sejenak beristirahat di kantin sekolah. Dari raut wajahnya yang penuh teka-teki dan misteri, aku yakin akan ada kejutan yang seperti biasa ia berikan padaku.
                “Nela kemarin aku benar-benar syok, antara aku merasa gila dan rasa amazing yang tidak ada habisnya”. Sambil meneggak beberapa teguk es the manis buatan ibu kantin.
                “Apa?”. Mendadak rasa bersalahku muncul karena memberikan tanggapan yang tidak mengimbangi rasa semangatnya yang terlihat berapi-api.
                “Kemarin nenek cerita ke aku kalau ada dimensi ke 81 “. Temanku yang bernama Disa memulai ceritanya,
                “Dimensi ke 81?”. Dengan sedikit ragu aku mengernyitkan kening karena memang aku tidak paham dengan apa yang sedang dia bicarakan saat ini.
                “Ya, jadi gini, nenek aku itu cerita kalau dulu ada cerita turun temurun tentang suatu kehidupan diluar bumi yaitu Dimensi ke 81 dan nenek aku bilang kalau kehidupan disana memang nyata adanya”.
                “Ya ampun, kamu sama nenek kamu ga ada bedanya sama-sama jadi anak kecil lagi”.
                “Nela, nenek aku juga udah cerita bahwa mereka itu adalah makhluk-makhluk yang memiliki sihir yang wow aku ga bis ajelasin sama kamu”.
                “Sihir?, hari gini abad 21 percaya soal sihir?”.
                “Dan satu lagi, mereka bisa terbang karena memiliki sayap”.
                “Sayap?”. Sejenak tiba-tiba aku teringat kembali dengan sayap yang aku miliki.
                “Iya, mereka punya sayap, dan konon sudah banyak diterbitkan buku-buku yang berkisah tentang penghuni Dimensi ke 81”.
                “Kamu serius?”.
                “Buat apa aku bohong sama kamu, eh itu ibuku sudah jemput aku pulang dulu ya”.
                Dimensi ke 81 menjadi pokok pikiranku saat ini. Apa itu Dimensi ke 81 dan apa hubungannya dengan sayap yang ada di punggungku, aku harus segera tahu jawabannya. Satu-satunya cara agar aku tahu apa yang sebenarnya terjadi adalah aku membuktikan kata-kata Disa, terbang dan bermain sihir. Aku bingung bagaimana dan apa yang aku lakukan, aku sama sekali tidak tahu soal sihir yang selama ini hanya ada dalam imajinasiku yang terlarut saat membaca novel Harry Potter. Aku harus mencoba apapun yang akan terjadi aku tidaka perduli.
          “Ayo fokus Nela, fokus angkat meja ini”.”ANGKAT!!!”. Aku benar-benar sudah gila, meja di depanku terangkat. Aku benar-benar gembira ternyata akulah makhluk Dimensi ke 81 yang aku pikir tersesat kie Bumi. Segera aku akan mencari bukti yang lain, aku akan terbang.
                “Fokus Nela, ayo terbang”. Aku benar-benar terbang mengitari langit-langit kamarku dan jatuh.
                “Oi Nela bangun, ternyata dari tadi tidur pantas aja aku telfon ga diangkat tidurnya nyenyak banget”.
                “Sayapku mana?, sihirku mana?”.
                “Sihir?, sayap?, apaan coba?, hahaha kamu mimpi ya?”.
                “Aku mimpi”.
                “Makanya kalau baca Harry Potter itu jangan dihayati mendalam, bener kata Disa kalau Harry Pottet bisa nyihir orang”.
                “Bener Tante, hahaha nyihir orang jadi mimpi punya sayap hahaha”.
                “Apaan sih ibu sama Disa ngejekin aku terus”.
                Setelah peristiwa mimpi itu aku jadi jarang dan bahkan mungkin sudah sangat malas untuk sekedar melihat sampul dari buku-buku kakak yang berhubungan dengan cerita sihir, aku sungguh tidak mau lagi menjadi seorang pemimpi sihir lagi.

Nama:Ananti Primadi
          SMA N 7 Yogyakarta
Kebahagiaan untuk Kalila
Cerma: Ananti Primadi
            Pasar sore dekat rumah sakit dokter Sardjito masih lengang oleh aktivitas para penjual, Pantas karena jam juga masih menunjukkan pukul sebelas siang. Sekelebat aku melihat lalu kulirik lagi arloji tuaku, ya ampun kupikir aku harus segera mengganti dengan jam tangan yang baru meskipun mungkin tidak harus mahal pula. Sejak ayah meninggal dua tahun lalu aku tidak pernah memiliki cukup waktu untuk berpikir hal yang lain diluar kuliah dan pekerjaan sampinganku, dua puluh empat jam pun kurasa tak cukup untuk aku menyelesaikan semua tugas yang aku miliki yang terkadang membuat aku selalu menjadi gadis hanya bisa menatap gundah orang-orang yang bisa dengan leluasa bermain dan mungkin hanya butuh waktu sedikit untuk menyelesaikan tugas mereka.
            Aku sudah bejanji dan aku sudah mematrikan hatiku untuk tidak mengeluh terhadap apa yang kualami saat ini. Aku selalu ingat pesan dari almarhum ayah bahwa hidup itu memang pahit namun tidak akan sepahit ketika kita meminum kopi yang tanpa gula dimana kita tidak akan pernah menemukan rasa manis, tetapi hidup ini adalah perjalanan dimana kita tidak akan berhenti pada satu persinggahan. Pahit dan manis kucoba rasakan dengan kelegaan yang menurutku akan sedikit membawa rasa netral, jika terselip sedikit pahit maka akan tetap terasa manis. Aku selalu berusaha untuk tetap tersenyum pada mentari yang siang ini membakar kerinduanku pada ayah, hari ini tepat dua tahun tanggal kepergian ayah yang sangat aku cintai. Aku tidak akan berdesis seolah aku adalah gadis yang malang dengan ibu tiri yang kejam, aku sudah membuang jauh-jauh pikiran itu dan dimataku ibu tetaplah sosok yang patut untuk sekedar aku banggakan di hadapan kawan-kawan kampusku.
            Sembilan belas tahun yang lalu dua anak perempuan kembar dari Panti Asuhan Firdaus itu diadopsi oleh keluarga Utama Hadijaya, sebenarnya sang istri tidak pernah berniat untuk mengadopsi keduanya karena dalam keluarga itu hanya didambakan satu orang anak perempuan, namun karena Pak Utama tidak tega memisahkan kedua saudara maka jadilah dua saudara kembar itu diadopsi bersama-sama meski sang istri tidak pernah setuju. Akulah Alina Lilya Khanisa dan kakakku Kalila Jasmine Nasrita yang menurut ibu Mery bunda kami di panti bahwa kami ditinggalkan begitu saja di depan gerbang panti tanpa ada siapapun hanya ditemani oleh balutan pakaian dan selembar kertas berisikan nama kami berdua. Ibu Rarasari Dewi adalah ibu kami, ibu dari seorang Alin dan Lila yang selalu tidak pernah melihat keberadaan Alin dalam kehidupannya. Aku selalu sadar kami memang berbeda, Lila kakakku tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, cerdas, sempurna dalam segala hal yang sangat berseberangan dengan diriku.
            Lila saudara kembarku itu sangat beruntung, dia dicintai oleh ayah dan ibu angkat kami, dia tumbuh menjadi gadis cantik nan cerdas. Selalu masuk ke sekolah favorit adalah cerita yang mewarnai setiap nuansa saat kami mencari sekolah, lemah lembut nan sabar adalah hal yang ada pada diri Lila hingga dia menjadi anak satu-satunya yang bisa dibanggakan dalam keluarga kami. Semua teman yang mengenal Lila pasti akan senantiasa ingin dekat dengannya, dan mungkin aku sungguh ingin berkata jujur bahwa aku tidak pernah bisa menemukan sedikitpun cela yang ada padanya, semua hal yang bisa aku lakukan dia lebih menguasai dan hal baik yang tidak bisa aku lakukan dia bisa lakukan dengan sangat sempurna. Aku tidak pernah ingin menjadi orang yang iri pada saudaraku sendiri, aku juga tidak akan pernah membencinya walaupun karena dia aku selalu dipandang sebelah mata oleh orang lain. Aku selalu tahu tentang Lila karena dia sangat menyayangiku, aku tahu dia tidak pernah meminta Tuhan untuk memberikan kelebihan itu padanya kelebihan yang seharusnya dibagi berdua hanya untuk dia semata. Aku tahu kalaupun dia bisa lakukan dia akan berikan semua yang dia punya untukku kecerdasan, kecantikan, dan segenap kesempurnaannya.


***
            Kuliah telah usai dan hubunganku dengan Ardan telah berjalan satu tahun, bulan depan Ardan berjanji akan membawaku ke rumah orang tuanya. Aku sangat bahagia dan merasa sangat beruntung karena memiliki Ardan yang sangat menyayangi dan menjagaku setelah Lila tidak bisa lagi selama duapuluh empat jam menjagaku karena aku harus pindah dan kost di dekat kampus di daerah Bulaksumur. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena Ardan bisa mengobati lukaku setelah kehilangan ayah, menjadi sosok penggangti ayah yang mampu menjagaku meskipun aku tahu ayah tidak akan terganti oleh siapapun termasuk Ardan.
            Sore ini angin begitu semilir meneduhkan setiap insan yang disapanya, menyejukkan dan menghapus bayangan luka yang ada di setiap wajah-wajah nan lelah di komplek Mekarsari tempat dimana aku bertempat tinggal kost. Mendung tak stebal biasanya saat musim hujan entah apa yang sedang direncanakannya dalam persembuyian sepi yang seolah ingin berlomba dengan diriku. Gerangan apa yang akan terjadi biarlah terjadi yang terang aku bahagia telah diberi kesempatan  untuk menikmati segala hal yang kumiliki sampai saat ini, yang entah mengapa aku selalu ingin berteriak aku tidak ingin kehilangan apa yang kumiliki. Ternyata suasana sore ini sengaja menundukkanku agar pulang untuk menjenguk Lila dan ibu sungguh aku sangat merindukan mereka.
            Rumah ibuku sungguh tidak berubah, tetap megah dengan segala aset yang berhasil dikumpulkan oleh ayah kami ayah angkat kami. Aku merenung rumah sebesar ini semenjak kepergian ayah dua tahun lalu terasa sangat sepi karena tidak akan ada lagi karyawan yang ayah ajak pulang untuk diajak merundingkan pekerjaan. Aku langsung masuk ke ruang tengah karena aku sangat hafal bahwa jam-jam saat ini ibu selalu memberikan wejangan pada semua anggota keluarga seperti yang dulu seringa ayah lakukan.
            “Tapi bu Lila kan belum kenal sama orang itu masak langsung ada acara pertunangan segala, apa itu tidak terlalu terburu-buru?”
            “Ibu sudah kenal dengan keluarga itu sejak lama, ibu bahkan mengamati sendiri calon tunanganmu itu karena ibu benar-benar ingin memastikan dia layak menjadi suamimu Lila”.
            “Iya tapi setidaknya kenalkan dulu Lila sama orang itu, namanya  saja Lila belum tahu”.
            “Ardhan Nuraga Saputrawijaya putra dari Hutama Saputrawijaya pemilik Hotel Kenanga Wulan itu”.
            “Degg”
             Jantungku serasa ingin berhenti berdetak kala itu juga, tidak ada yang bisa aku ucapkan untuk hal ini bahkan perasaanku pun tidak bisa aku lukiskan. Aku menyerah dengan apa yang telah Tuhan putuskan, inilah jawaban dari munculnya rasa ketidakrelaanku selama ini. Beribu tanya tak bisa aku enyahkan dari otakku, kenapa harus Ardhan dan kenapa harus kakakku yang ditunangkan dengan orang yang sudah kuanggap membawa separuh nyawaku.
            Mendung membayangi perjalananku sore ini ke makam ayah, trimakasih ayah kau telah memberikan pemahaman dan mengajarkan padaku banyak hal hingga aku bisa belajar menjadi orang yang mampu untuk belajar memahami arti sebuah rasa kehilangan. Aku berjanji ayah atas nama langit dan bumi akan kuberikan kebahagiaan itu untuk kakakku.



Cinta Untuk Matahari
Cerma:Ananti Primadi
            Di tempat itu aku biasa melihatnya termenung menanti senja, duduk terdiam memainkan ujung bajunya yang mulai kusam dimakan usia. Dia biasa memanjangkan kaki, membiarkan ujung kakinya dipermainkan ombak yang datang silih berganti menerpanya. Menikmati hempasan angin yang dengan lembut seolah ingin menghibur dari lelah yang seakan tak ada habis datang dalam setiap kehidupan. Lama aku mengamati tiap hembusan nafasnya, tapi hari ini aku tidak menemukannya di tempat biasa dia terduduk. Ada  yang hilang dari pandanganku hari ini, yang biasa aku menemukannya duduk dengan tenangnya di tengah persoalan yang mungkin tengah menghimpitnya.
            Dia hilang hari ini karena aku tidak menemukannya, aku sendiri juga tidak mengerti kenapa aku begitu merasa  kehilangan saat aku tidak menemukannya terduduk di tempat biasa dia memandang langit. Aku memang tidak tahu apa yang dia pandangi, namun dari gaya dan rona wajahnya agak menengadah aku jadi semakin yakin bahwa dia sedang berfikir sesuatu tentang langit atau sejenisnya. Apa yang sedang kupikirkan, menghabiskan waktuku hanya untuk menganalisa apa yang bukan menjadi urusan dari kehidupanku. Aku berfikir bahwa mungkin gadis manis itu hanya sedang kesepian namun apakah tidak ada hal yang bisa membuat dia sedikit terhibur dari rasa kesepiannya. Hari sudah mulai menunjukkan keusaiannya karena malam akan segera menjemput, aku segera beranjak pulang.
            Awan terlihat begitu cerahnya, dengan sedikit semilir angin yang masuk lewat jendela angkot yang sedang kutumpangi membuatku sedikit ingin tidur barang beberapa menit. Aku segera sadar bahwa di depan sudah nampak gerbang Pantai Pandanwangi di tepian ujung kulon sekitar 1 km dari tempatku menghabiskan malam. Aku segera turun setelah membayar ongkos angkot yang aku tumpangi. Memandang lepas ke lautan membebaskan segenap sesak yang kudapat hari ini rasanya sungguh nyaman. Dihinggapi rasa penasaran membuatku segera beranjak ke tempat biasa aku melihatnya duduk termenung dan aku menemukannya, entah apa yang kurasa yang pasti aku memiliki rasa dan kekuatan untuk mengetahui siapa dan apa yang dia lakukan di pantai ini.
            Baru saja aku meletakkan pantatku di samping dia terduduk seperti biasa, rasa penasaran begitu  memburuku.
            “Apakah kamu juga mencintai Matahari?”. Aku tidak menyangka secepat ini awal perkenalanku dengan gadis itu.
            “Maksud kamu?”. Mulai kuberanikan diri untuk mencoba tahu lebih dalam tentangnya.
            “Aku hanya sedang ingin mencoba untuk mencintai apa yang seharusnya aku cintai, bukankah kita manusia sering mencintai hal yang tidak bisa untuk kita cintai dan mengabaikan hal yang seharusnya kita cintai”. Aku tidak menyangka dari  rona wajahnya yang terlihat ingin diam ternyata hanya ibarat misteri yang tidak bisa dipecahkan orang lain.
            “Cinta matahari?” .Aku mulai berani bertanya.
            “Ya, aku pikir matahari sangat berjasa dalam hidupku setelah kedua orang tuaku dan aku  ingin mencintainya.
            Sungguh gadis aneh pikirku. Ya baru beberapa hari ini aku memang dilanda kesedihan karena dikhianati oleh calon tunanganku, tapi entah mengapa gadis ini seolah mampu membuat aku melupakan Reina barang beberapa jam.
            “Kenalkan, namaku Rendra, kamu?”. Aku berusaha mendekat di sampingnya.
            “Namaku Tari aku tinggal di seberang jalan gerbang Pantai rumah no 5 dari arah Tanjung Pura.
            “Sudah pukul lima aku harus segera pulang, aku duluan ya Tari”. Sungguh perkenalan yang tidak akan pernah aku lupakan karena sungguh, Tari telah mengubah jalan pikiranku yang semula sempit menjadi selebar samudra.
            Karena Tari aku mampu melupakan Reina, karena Tari aku mampu memandang hidup dengan penuh arti walaupun pertemuanku dengan Tari hanya waktu itu. Aku janji akan menemui Tari dan sangat berterimakasih padanya karena dia telah mengubahku.
            Sudah seperempat jam aku melalui perjalanan sepulang kampus menuju pantai Pandanwangi. Tepat di arah barat daya gerbang pantai kurasakan laju angkot semakin pelan kasak kusuk penumpang dalam angkot mengataka bahwa telah terjadi tabrak lari di depan gerbang pantai. Entah apa yang aku rasakan semua bercampur menjadi satu dan akhirnya aku memutuskan turun dari angkot dan berjalan ke arah kerumunan massa yang melihat lokasi kecelakaan.
            “Ada kecelakaan apa pak?” Tanyaku pada seorang tukang becak yang kebetulan ikut mengangkat korban kedalam mobil.
            “Itu dek gadis yang rumahnya no 5 itu jadi korban tabrak lari, baru saja dia keluar rumah katanya mau menuju pantai sayang dia langsung meninggal dan ini jenazahnya mau diotopsi di rumah sakit”. Deg jantungku serasa berhenti berdetak naluriku mengatakan aku harus segera melihat  korban tabrak lari itu.
            Setelah memohon kepada petugas ambulan akhirnya aku diizinkan melihat, aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Tubuh itu terbujur kaku tidak berdaya, tak kuasa aku melihatnya tak mampu aku berkata-kata seperti apa yang tadi hendak aku katakan padanya. Aku hanya bisa berkata.
            “Trimakasih Tari, berkat kau aku sekarang tegar dan bisa melupakan Reina, apakah kamu percaya jika aku telah mencintai matahari?,Tari aku berhasil mencintai matahari karena aku pikir kamu memang benar.
            Selamat jalan Tari, cintamu pada matahari akan abadi untuk selamanya. Sepanjang perjalanan aku duduk terdiam memandangi Tari yang akan segera menuju surga.



     Dendam Bunga Sendang Galuh
Cerpen:Ananti Primadi
Aku masih termanggu dengan sunyi yang terus mengiris kalbuku, tak perduli dengan hatiku yang berteriak merasakan kebekuan yang teramat sangat. Jujur aku ingin semua seperti dulu saat dimana anganku belum membentur tembok kenistaan seperti sekarang ini. Aku muak dengan keadaan ini, dengan semua kehinaan yang entah akan aku lalui sampai waktu yang tak mampu aku perkirakan. Aku marah dan sangat tertusuk begitu dalam, ingin rasanya aku menyalahkan keadaan ini namun apakah semuanya akan berbalik normal seperti mudahnya membalikkan telapak tangan tentulah tidak, maka kuurungkan niatku untuk memaki keadaan yang tak kunjung berpihak barang sedetikpun pada kehidupanku yang papa.
            Ingatanku kembali menerawang jauh di aroma enam belas tahun yang lalu, menghirup segenap luka yang saat ini semakin menganga dengan lebarnya tanpa pernah ada obat yang mampu untuk menyembuhkannya.  Semakin waktu kutapaki pelan-pelan semakin banyak garam yang tertabur dalam luka itu, membuatku semakin hari semakin sulit untuk menemukan oksigen di tengah kubangan karbon monoksida  yang  mematikan. Masih adakah oase itu lalu dimanakah dia, kenapa sepanjang  aku berlari bermil-mil di gurun gersang aku hanya menemukan fatamorgana, sungguh aku sangat lelah dan kehausan. Aku hanyalah manusia biasa yang mungkin terlahir tanpa takdir yang begitu mengesankan, Sri Wulansih yang dilahirkan dari rahim perempuan desa bernama Paini dan suami bejatnya yang bernama Kurdi.  
***
            “Prangggg”,
            Aku meyakini bahwa tidak lama lagi barang pecah belah di rumahku akan segera habis tersapu oleh tangan biru ibuku, aku tidak menyalahkannya bahkan kalau aku berada di posisinya aku juga akan melakukan hal yang sama. Suara tangis dan cacimaki masih terngiang jelas di telingaku, tamparan dan pukulan entah mencari tempat dimana lagi karena semua bagian tubuh ibuku sudah penuh dengan luka yang diberikan oleh ayahku. Aku hanyalah anak usia delapan tahun yang hanya bisa menangis pilu dengan takdir yang sama sekali tidak bisa kupilih, bagiku hidup adalah menjalani apa yang telah tergores di tangan Tuhan tanpa sebuah pilihan. Saat seperti ini aku hanya bisa bergumam lirih dalam hati, semoga Tuhan sedikit mengasihani keluargaku dan segera menyelesaikan cerita ini dengan akhir yang bahagia walau hanya dalam anganku saja.
            Wong lanang kurang ajar, wes semene wae bebrayan karo kowe, pisah wae nek kaya ngene(laki-laki kurang ajar, sudah cukup sampai disini berumah tangga denganmu, berpisah saja kalau seperti ini)”,
           
            Jujur kukatakan ayahku memang seorang bajingan busuk yang hanya bisa merobek hati ibuku. Aku sangat membencinya untuk saat ini, dimasa lalu dan seterusnya sampai nafas akan meninggalkan ragaku,  dan ingin membunuhnya dengan tanganku sendiri terhadap apa yang pernah dia lakukan padaku dan ibu. Kesempatan yang telah diberikan ibuku padanya terlalu mulia untuk diacuhkan demi memuaskan nafsunya berpetualang menjajagi tubuh janda liar di ujung desa yang kelam bagiku. Aku tidak perduli lagi kalaupun Tuhan mengutukku menjadi anak durhaka karena memaki ayah kandungku sendiri, namun sungguh hatiku teramat membatu untuk makhluk yang bernama lelaki. Aku pernah bersumpah atas nama langit dan bumi akan kumusnahkan rasaku terhadap laki-laki, laki-laki hanyalah rendah mereka tidak lebih dari sekedar binatang malam yang kehausan akan tetesan embun pagi yang tidak akan pernah mereka dapatkan..
***
            Dingin semakin mencengkeram tubuhku yang sangat kotor dan menjijikkan  ini, mereka para lelaki pemuja nafsu dunia merangkak di bawah kolong kakiku untuk sekedar bisa menyentuh tanganku. Aku mungkin memang seorang perempuan lacur, namun entah mengapa aku menolak dikatakan menjual tubuh demi segepok uang.  Bukan uang yang aku cari tapi kepuasan melihat para lelaki bajingan itu merengek-rengek dihadapaku, hanya untuk sekedar memohon kutemani satu malam saja. Sejenak aku merindukan ibuku yang mungkin telah bertambah tua, bagaimanakah keadaannya di desa masihkah seperti dulu dan akankah dia mampu menjahit lukanya saat ayah terkutuk itu melukainya lagi. Otakku mulai membentur angan yang tak kunjung berbatas, kosong dan jauh menerawang menembus batas-batas angin yang telah lelah untuk membawa harapanku kembali, namun  untuk saat ini kekuatan yang kuhimpun belumlah cukup untuk berani sekedar memandang wajah ibuku.
            Hp ku berdering sebuah sms telah memasuki kotak inbokku, sebuah pesan singkat masuk dari lek Kasno pamanku yang rumahnya berseberangan dengan rumah ibuku di desa
            “Ibumu loro mlebu rumah sakit meneh, bapakmu kedanan Sulastri digrebek sak deso digebuki karo warga”,(Ibumu sakit masuk rumah sakit lagi, ayahmu tergila-gila dengan Sulastri lagi, dipukuli oleh orang-orang kampung)”
            Hatiku berdesis sembilu teramat kaku,  sungguh aku ingin berteriak menumpahkan sesak yang mungkin tak lekas beranjak dari dadaku. Keluargaku telah hancur dan aku hanyalah anak yang terkutuk yang lahir dari istri seorang bajingan yang kini masuk ke penjara karena tangannya membawa kain jarik yang terbukti digunakan untuk mencekik selingkuhannya, entah setan mana lagi yang merasuki jiwa ayahku setelah terlalu banyak iblis yang merasukinya hingga aku tak tahu lagi. Aku tahu ibuku sangat menderita dan terluka dan aku hanyalah seorang anak jalang yang tidak berguna dan tidak bisa melindungi saat ibuku mungkin telah tersakiti lagi. Aku sadar bahwa untuk saat ini aku tidak berbeda dengan ayahku, sungguh anak dan ayah yang hidup di dunia sebagai seorang pendosa, aku tahu aku tidak berbeda dengan ayahku yang sejatinya selalu menyakiti ibuku. Jika aku berani berfikir satu langkah lagi mungkin aku lebih kejam daripada ayahku, aku menyakiti ibuku tanpa pernah dia sadari apa yang sebenarnya aku lakukan.
            Suara adzan berkumandang merdu dan indah di telingaku, sejujurnya aku sangat ingin memeluk Tuhan karena aku sangat merindukannya, tapi aku hanya mampu selalu menggigil lesu sembari bertanya apakah Tuhan mau didekati oleh manusia kotor dan hina seperti aku dan jawaban itu entahlah aku tak mampu berfikir lagi. Aku ingin kembali dan aku ingin menemui ibuku memohon maaf atas dosa yang telah aku lakukan, ibu sungguh aku sangat munafik bahwa aku selalu berkata aku mencintaimu namun ternyata aku melukaimu. Sungguhpun harus saat ini Dia mengambil nyawaku dan memasukkan aku ke neraka, aku tidak pernah menyesal karena aku sadar atas semua dosa besar yang telah aku lakukan, namun tolong izinkan aku memohon maaf dulu pada ibuku.
            “Maaf, mbak kami sudah berusaha namun penyakit TBC yang ibu Paini derita sudah sangat parah, harusnya beliau dibawa ke rumah sakit di kota dari dulu supaya dapat perawatan intensif”.  
            Semua sudah berakhir Tuhan, aku tidak mampu berfikir apapun lagi. Tentang masa depan yang bagiku jalan merengkuhnya teramat sangat gelap, sungguh hatiku telah berada di tepi jurang yang mungkin tak pernah akan ditemui  batas akhirnya.  Sampai aku bertemu dengan seseorang yang mampu menundukkan hatiku, membuatku percaya lagi bahwa Tuhan tidak pernah ragu untuk mengampuni dosa makhluknya sebesar apapun itu asal tidak menyekutukannya. Aku selalu berfikir bahwa kedatangannya adalah anugrah yang mungkin datang terlampau akhir dalam drama yang aku lakoni, namun segera kutepis bahwa mungkin Tuhan sengaja mengirimkannya untuk menjemputku yang tersesat dalam jalan yang begitu gelap tanpa lentera.
***
            Semua yang telah direndanya sebagai angan inda menjemput impian masa depan telah pupus, semua telah menyadari bahwa tiada berbenteng kuasa yang dimiliki oleh pemilik jagat raya ini. Semua yang telah dicurahkannya seakan telah  raib tanpa meninggalkan sebuah kesan yang berarti bagi yang dicintainya, butuh waktu yang tak cukup tiga tahun untuk meyakinkan yang dicintainya bahwa tidak semua laki-laki di dunia ini adalah seperti ayahnya. Ternyata bukan seperti itu yang semua orang inginkan tetapi Sri Wulansih telah memilih apa yang telah ada di hadapannya, menjalani hidup tanpa seorang ibu yang amat dikasihinya membuatnya lebih membakar dendam dibanding saat kehilangan ayah karena ulah janda di ujung desa.
            “Kalau kamu masih memilih perempuan lacur itu maka semua kekayaan yang ayahmu wariskan akan aku bekukan, aku tidak pernah sudi berurusan dengan wanita kotor seperti itu”,
            “Kalau ibu mau lakukan saja sesuai kemauan ibu, semua orang punya masa lalu tidak ada manusia sempurna dan karena ketidaksempurnaanyalah manusia mencari pasangan agar bisa saling melengkapi dengan sempurna”,
            “Kamu, berani melawan ibumu hanya karena wanita jalang itu, kamu akan menyesal Radho”,
            “Ibu, semua yang terjadi adalah atas restu ibu, tapi jika ibu telah berkata demikian mungkin memang benar hidupku akan penuh penyesalan namun biarkanlah aku menjalani penyesalan itu bersama orang yang aku cintai bu”,
            Gerimis masih enggan untuk menghentikan aktivitasnya, seorang pemuda menggungguk lesu di samping sebuah gundukan tanah yang masih terasa beraroma siraman air kelapa. Entah apa yang akan dikatakannya pada ibunya kelak, dia mungkin sangat malu atas peristiwa ini, bunuh dirinya seorang pelacur yang coba dia sadarkan dari gelimang maksiat. Sungguh waktu tiga tahun bukanlah pendek bagi perjuangan yang dilakukan seorang anak bupati yang telah memilih takdirnya untuk mencintai seorang mantan pelacur yang  dendam kepada ayahnya sendiri. Cinta telah menentukan takdirnya dan mungkin semua sudah sampai pada batas yang tidak mampu ditembus oleh tangan-tangan kecil manusia.
Dia mencoba mengingat apa saja yang telah dia lakukan untuk perempuan lacur yang telah tidur untuk selamanya di bawah gundukan tanah kuburan, mencoba membimbing dan memberi pengertian bahwa segala yang terjadi adalah hal yang harus terjadi dan mencoba membalas dendam pada keadaan adalah hal konyol yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Satu hal yang membuat pemuda itu selalu mengingat kekasihnya yang lacur yakni tidak pernah menentang ibunya, hal yang justru dilakukan oleh pemuda itu saat mengutarakan niat untuk meminang Sri Wulansih dari desa Sendang Galuh.







 

Komentar

Postingan Populer