Antologi Cerpen Ananti Primadi
Ini aku sekedar share beberapa cerpen yang sudah pernah dimuat di media masa, ya meski memang cuma level lokal provinsi sih heheheha ada yang dimuat di Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat maupun Harian Jogja juga sekali di Majalah Kampus UGM Balairung.
Antologi
Cerpen Ananti
Cinta untuk sang Kupu-kupu
Cerma : Ananti
Primadi
Malam terasa sunyi, dingin yang datang menyelimuti juga
semakin menambah aroma sepi di hati Tasya yang berhembus sejak kedatangannya ke
bumi 17 tahun yang lalu. Pengawal Zee yang duduk di sampingnya tidak mampu
mengubah suasana hati Tasya. Setelah Pengawal Zee bercerita panjang lebar
barulah Tasya tahu apa yang sesungguhnya terjadi, Tasya merindukan tanah
kelahirannya di Andrenamora, tanah dimensi ke-67 dimana Tasya dilahirkan sebagai makhluk setengah manusia
dan setengah kupu-kupu. Tasya terpaksa diasingkan ke bumi karena kerajaan milik kedua orang tua Tasya dikuasai
oleh peri jahat Premorda yang ingin mengahancurkan kerajaan Andrenamora.
“Jadi itu yang sebenarnya terjadi?, sulit dipercaya aku bukan
manusia,”. Tasya berusaha memecah keheningan.
“Begitulah yang sesungguhnya terjadi, suatu saat Tasya harus
kembali ke Andrenamora,”. Pengawal Zee menimpali.
“Pantas aku selalu merindukan sesuatu yang awalnya aku pikir
tidak pernah ada, tapi ternyata semua itu nyata,”.
“Sebaiknya aku segera kembali, aku takut peri jahat Premorda
melihat sinyal sihirku dan menemukan keberadaanmu disini sungguh itu sangat
berbahaya,”.
“Pergilah jaga orang tuaku baik-baik suatu saat aku pasti
akan kembali untuk menyelamatkan bangsaku meski aku tidak tahu bagaimana
caranya,”.
Pagi ini di sekolah SMA PERMATA BANGSA 2 akan diadakan
seminar tentang dunia sastra, siswa-siswa sangat antusias menyambut seminar
ini. Rendy kekasih Tasya masih sibuk dengan catatan-catatan kecil di
notebooknya, sementara Tasya masih berpikir soal jati dirinya yang sangat tidak
bisa dinalar oleh akal manusia.
“Ren aku pengin tanya sama kamu, misal aku bukan manusia apa
kamu masih akan tetep sayang sama aku?”. Dengan tatapan kosong Tasya bertanya
kepada Rendy.
“Tasya kamu tu ngomong apa sih, ehm aku tahu kamu pasti mau
ngasih aku inspirasi soal cerpen yang akan aku tulis kan?”. Senyum simpul tersungging dari wajah
cerah Rendy.
“Lupakan, aku cuma ngelantur,”. Balas Tasya.
“Dengerin aku ya, apapun yang terjadi sama kamu aku akan tetep sayang sama kamu,”.
Sepulang dari sekolah Tasya langsung merebahkan diri di kamar
tidur tanpa memperdulikan ibunya yang memanggilnya untuk santap siang, suara
derap langkah kaki tidak mampu sedikit saja menggeser posisi rebahan Tasya.
“Kamu kenapa sayang kok pulang-pulang langsung nyelonong ga
salam sama bunda?”. Bunda Ina bertanya dengan kelemah-lembutannya padahal
sesungguhnya dia tidak lupa kapan persisnya tanggal dimana orang yang dipanggil
Bunda Ina menemukan bayi yang dikerubuti ribuan kupu-kupu di taman belakang
rumahnya.
“Ga ada apa apa kok bun, Tasya cuma sedang memikirkan sesuatu
yang entah Tasya sendiri tidak pernah mengerti”. Tasya tiba-tiba menjadi ragu
untuk menanyakan kebenaran itu, ia teramat takut untuk menyakiti hati bundanya
yang teramat mencintainya.
“Ya sudah kalau begitu bunda mau ke bawah dulu siapin makan
siang buat kamu”.
“Ga usah bun makasih, Tasya kan sudah besar sudah bisa ambil makanan
sendiri”. Sembari tersenyum simpul.
“Bun, kalau suatu
saat Tasya ninggalin bunda, apa bunda akan melarang Tasya”.
“Memangnya kamu mau pergi kemana sayang rumah kamu kan
disini, ya udah bunda mau ke dapur dulu”.
Tasya merenung memikirkan hal yang menurutnya tidak bisa
dinalar oleh akal yang dia miliki, namun ada hal yang selalu membuatnya percaya
dengan kata-kata pengawal Zee yakni setiap kali pengawal Zee datang menemuinya
Bunda tidak pernah bisa melihatnya dan juga hati Tasya yang selalu terpaut pada
dunia kelahirannya. Dimensi ke 67 Andrenamora tempat bagi bangsa setengah
manusia setengah kupu-kupu adalah tanah kelahiranku lalu bagaimana aku bisa
sampai ke bumi dan kenapa selama ini aku tidak berubah menjadi kupu-kupu tapi
tetap dalam wujud manusia, itulah Tanya yang menggelayut di benak Tasya.
“Pengawal Zee, apa yang terjadi pada kedua orang tuaku?
Kenapa kau mendadak kemari?”.
“Tasya, kamu harus segera kembali ke Andrenamora, menurut
ramalan manuskrip kuno cuma kamu yang bisa menyelamatkan seluruh penduduk
Andrenamora dari petaka yang dibuat oleh peri jahat Premorda”.
“Kapan, sekarang?”
“Ya, tak ada waktu lagi kau harus segera kembali
menyelamatkan kedua orang tuamu”.
“Pranggg”.
“Ibuuuu”.
“Siapa dia Tasya, kenapa ada di kamar kamu?, dan apa yang
kalian bicarakan tentang pergi ke Andra entahlah berjanjilah untuk tidak
meninggalkan bunda”.
Semua terdiam pilu, Bunda mempererat pelukannya terhadap
Tasya hingga hati Tasya terasa sesak untuk berkata bahwa Tasya mampu untuk
meninggalkannya.
“Bunda bisa melihat pengawal Zee?”
“Ya, aku sengaja tidak memakai sihir karena aku sangat takut
peri Premorda menangkapku sebelum aku berhasil membawamu kembali”.
“Tapi izinkan aku bertemu Rendy terlebih dahulu untuk
berpamitan dengannya,karena aku tidak akan tahu kapan aku bisa kembali ke
bumi”.
“Baik tapi cepatlah”.
“Kau harus kembali sayang, kau harus kembali ke bunda karena
disinilah rumahmu, bunda sudah merawatmu dari kamu bayi”.
“Tasya janji bun, suatu saat Tasya akan kembali untuk bunda,
Tasya pergi dulu bun”.
“Hati-hati sayang”.
Berat rasa hati Tasya melepas Bunda sendiri di rumah tapi apa
mau dikata, kedua orang tuanya juga membutuhkannya juga masyarakat Andrenamora
yang membutuhkan pertolongannya. Rumah Rendy tampak sepi namun Tasya tetap
nekat untuk mengetuk pintu. Tasya sengaja tidak memberi tahu kedatangannya
kepada Rendy Karena takut akan membuat
Rendy khawatir.
“Tasya, kamu ngapain malam-malam ke rumahku, kamu sama
siapa?”
“Aku sama siapa itu ga penting, yang terpenting sekarang aku
ingin pamitan sama kamu”.
“Pamitan?,memangnya kamu mau kemana malam-malam begini, ayo
masuk udara sangat dingin”.
“Ga bisa Ren, aku harus segera pergi sekarang, aku serius
tolong kamu jangan ingat aku kalau nanti aku ga kembali lagi ke bumi”.
“Tasya benar kami tidak punya banyak waktu jika kami selamat
kami janji akan kembali menemui kamu, sekarang izinkan Tasya pergi dan doakan
dia bisa kembali ke bumi”.
“Aku sungguh tidak mengerti apa maksud perkataan kalian,
Tasya tolong jelaskan ada apa sebenarnya”.
“Maaf Ren aku tidak punya banyak waktu aku pergi dan aku
pasti akan kembali untuk kamu suatu saat nanti”.
“Tasyaaaaaaaaaaaaaa”.
Sepuluh tahun telah berlalu namun sesobek luka itu tidak jua
bisa terobati bahkan kini menganga teramat lebar. Dalam pandangan Rendy, Rendy
telah hidup bahagia bersama Tasya, Tasya selalu hadir dan menciptakan hari-hari
yang bahagia untuk Rendy. Semua orang sangat terpukul, terutama ibu dan ayah
Rendy yang mengetahui betapa besar rasa cinta yang ingin selalu diberikan
kepada Tasya yang entah berada dimana. Cinta yang teramat dalam untuk kupu-kupu
yang malang dari Dimensi ke-67.
Kutemukan Senyum Ryan Diantara Mereka
Cerma: Ananti Primadi
D
|
edaunan masih saja dibiarkan berserakan. Hari masih begitu
pagi ketika daun-daun itu menunggu untuk dibersihkan oleh pegawai kebersihan
yang sebentar lagi akan datang. Suasana pagi ini tampak lengang, beberapa
petugas, dokter, dan petugas jaga yang ada masih sibuk memnyambut pagi ini.
Bukan sebuah rumah sakit,melainkan Panti Rehabilitasi bagi pecandu narkoba dan
juga sekaligus penanganan terhadap pasien AIDS. Di situlah Aina menghabiskan
separuh harinya untuk ikut menjaga dan merawat serta memotivasi korban
keganasan AIDS dan Narkoba.
“Aina,tolong
kamu ambilkan obat tidur dalam lemari obat saya, pasien kamar no 23 harus
istirahat selama 3 jam untuk siang ini”,perintah Dokter Andini.
* * *
“KREEEEK”
Pintu
tua yang dimakan usia menyapa penghuni kamar no 23 sebelum sempat Aina memberi
sapa. Semua peralatan sudah ada dalam nampan obat yang dibawa oleh Aina,
tinggal menunggu Dokter Andini memasuki ruangan untuk memulai tugasnya.
“Eh
Aina, bawa apaan?”,Seloroh sang penghuni kamar yang biasa dipanggil Doni.
Doni
adalah pasien rehab dari kecanduan narkoba yang mulai berangsur pulih, tinggal
menunggu pemulihan beberapa pekan lagi. Selalu pertanyaan yang demikianlah yang
ditanyakan acapkali Aina datang. Sudah barang tentu obatlah dan juga peralatan
yang diperlukan demi pengobatan dirinya, sungguh basa-basi yang terlalu kuno
pikir Aina.
“Apa
semua sudah beres Aina?”,Tanya Dokter Andini.
“Sudah
Dokter!”,Jawab Aina.
Segera
saja Dokter Andini memberikan obat tidur untuk Doni. Selesai melakukan tugasnya
terhadap Doni, Dokter Andini segera kembali ke ruangannya. Belum sempat Aina
beranjak dari sisi tempat tidur Doni, tangan Doni telah lebih dulu mencengkeram
erat lengan Aina.
“Aina jangan pergi, tolong temani sampai aku
bermimpi indah bersamamu”,Pinta Doni.
“Tapi Don”,Balas Aina.
“Ah sudah, temani saja jangan kau banyak
komentar ya cantik”,Wajah memelas mulai ditunjukkan Doni.
Duduklah Aina disamping tidur Doni yang
mulai dikelabui oleh obat tidur. Wajah nan lesu
terpengaruh sisa racun yang mungkin masih tertinggal di tubuhnya.
Tiba-tiba ada sesuatu yang berbeda dari wajah Doni yang dirasa oleh Aina.
Senyum orang lain yang dulu pernah ada dalam kehidupan Aina. Membawa Aina terbang
kembali ke masa silam, masa-masa dimana sakit yang menghantui di awal tahun.
* * *
“Kalau kamu tidak segera memutuskan hubungan
kamu dengan Ryan, mbak akan mengatakan semua kebenaran ini kepada Ibu”,Pekik
Kak Rosa yang mulai tidak mampu mengontrol emosi.
“Aku ga bisa kak, Ryan itu pacar aku dia
sakit dan sangat membutuhkan aku kak!”,Tangis mulai pecah tidak bisa dibendung
lagi airmata yang memenuhi pelupuk mata.
“Ryan itu kena AIDS Aina!,cobalah untuk
sedikit rasional dan berfikir dewasa dan kamu tidak akan pernah mampu untuk
menyagkal bahwa AIDS ditimbulkan oleh perilaku negatif!”,Kak Rosa bertambah
menyala.
“Kak,Aina kenal siapa Ryan……..masih ada
kemungkinan Ryan terjangkit karena kecelakaan, bukan seperti semua yang kakak
tuduhkan padanya, penderita AIDS bukan untuk dibuang tapi untuk didampingi,
diberi motivasi agar tetap bertahan hidup”,Tangis Aina makin tidak terkendali
menghiasi ruangan tamu rumah milik Kak Rosa.
“Terserah karena apabila kamu lebih memilih
Ryan berarti kamu memang sengaja ingin membuat Jantung Ibu kumat lagi!”,
Mereka berdua tidak menyadari bahwa orang
yang ingin mereka jaga dari serangan jantung telah berdiri tepat di balik pintu
utama yang terbuka.
Hari-hari dilalui terasa sepi bagi Aina
tanpa canda dari Ryan. Benar-benar dilakukan seperti janji yang diikrarkan Aina
pada Ibunya tempo hari di rumah sakit. Aina memilih untuk terdiam tanpa kata
semenjak memutuskan hubungan dengan Ryan. Bagaimana kabarnya, bencikah dia
padaku, begitulah selalu tanya yang muncul di benak Aina.
Selasa, tanggal 25 Januari 2009 telepon di
ruang tengah berdering. Ternyata telepon dari Waluyo yang memberikan kabar
bahwa Ryan telah tiada.
“Mari mbak kita pulang hari sudah semakin
sore, sebentar lagi gelap”
“Brukkkkkkk”
Tubuh Aina roboh menimpa papan penanda makam
milik Ryan.
* * *
Jari-jari mulai bergerak-gerak menandakan
bahwa sang empunya akan segera sadar. Tidak diduga tangan mungil itu menyentuh
sesuatu hal yang menonjol dari balik sprei kamar, sebuah diary. Tidak salah
lagi diary itu milik Ryan, orang yang sangat dicintai Aina betapapum
keadaannya.
5
Januari 2009
Kondisiku
drop, AIDS yang hinggap di tubuhku didiagnosa oleh dokter telah ada dalam
tubuhku sejak sekitar 10 tahun silam. Aku tidak pernah terpikr untuk periksa,
jangankan periksa terpikir pun tidak karena memang aku tidak pernah berperilaku
menyimpang. Aku ingat sewaktu kelas 4 SD aku pernah mengalami kecelakaan maut
dan hampir …..karena kehabisan darah dan saat itu juga aku menerima transfusi
darah untuk pertama kalinya. Mungkin darah itu sumber AIDS bagiku. Ah sudahlah,
toh orang itu juga sudah memperpanjang umurku selama 10 tahun, tidak etis
rasanya kalau aku masih juga menyalahkannya.
Deg,
jantung Aina serasa berhenti berdetak untuk menjalankan fungsinya. Antara
perasaan bersalah, bahagia, dan berduka. Semua bercampur menjadi satu kesatuan.
Bersalah karena harus meninggalkan Ryan, bahagia karena akhirnya semua yang Ibu
dan Kak Rosa tuduhkan itu tidak benar adanya, dan berduka karena terlalu cepat
Ryan meninggalkan Aina tanpa senyum manis terakhir.
Lembar
demi lembar dilewati menuju lembar terakhir yang masih kosong dan disitulah
Aina mulai menulis.
Just For Ryan
Aku mengenalmu
Aku tahu siapa dirimu
Bersamamu kutemukan bahagiaku
Ingin kukatakan sekali lagi
Aku sangat mencintaimu
Aku sadar atas kesalahanku
Yang sudah meninggalkanmu
* * *
“Kreeeek”
Pintu
terbuka Dokter Andini masuk dan membuyarkan lamunan Aina.
“Aina,
sekarang waktunya kamu persiapkan untuk perawatan pasien kamar 7, tolong
siapkan peralatan saya,”Kata Dokter Andini.
Diary
dalam genggaman segera ditutup dan beranjaklah Aina dari sisi kamar tidur Doni.
Di sela-sela istirahat siang, dibukanya kembali diary Ryan kemudian dilanjutkan
menulis isi hati yang mengusik konsentrasinya.
Betapa sesal tiada bisa berlalu
Saat kutahu salah duga atas
dirimu
Aku tahu, merawat mereka semua
Tak akan pernah mampu menebus
salahku padamu
Namun setidaknya aku mampu
Melihat hidupnya senyummu
Yang selalu membuatku meyakin
Bahwa selalu dan selalu hati ini
ada untuk mencintaimu
Ditutupnya
buku diary dengan senyum yang mengiringi doa dan sejuta pengharapan untuk Ryan
yang ada di Surga.
* * *
Sayap Dalam Cermin
Cerma:Ananti Primadi
Kata-kata gadis kecil itu masih terngiang dengan jelas,dengan berapi-api dia
mengungkapkan segala apa yang dilihatnya.Namun sayang, tidak ada seorangpun
yang percaya pada apa yang dilihatnya termasuk kedua orangtuanya sendiri orang
yang sangat dia harapkan untuk bisa percaya.
"Ibuu....lihat bu, di bahuku mulai tumbuh sesuatu seperti sayap aku senang akan punya sebuah sayap" Teriak gadis kecil itu dengan lantang sembari meraba bahu di depan cermin kamarnya. Derap langkah kaki manusia menaiki tangga terdengar seirama dengan terbukanya pintu kamar Nela.
"Sayang kenapa belum tidur?, ibu khawatir nanti kamu sakit" Tangan lembut sesosok perempuan yang dipanggil ibu mendarat di kepalanya, mengelus dengan lembutnya.
"Tapi ibu harus lihat Nela punya sayap bu, Nela akan bis terbang"Celoteh gadis itu dengan manjanya mengusapkan wajah di perut perempuan yang dia panggil ibu.
"Iya ibu tahu, sekarang Nela tidur ya agar besok tidak kesiangan berangkat kesekolahnya.
"Tapi ibu percaya kan kalau Nela punya sayap? Nela akan mengajak ibu terbang ke bulan" Tatapan yang seolah meminta sebuah kejelasan.
"Iya ibu percaya sayang" Sembari beranjak mematikan lampu 25 watt dan menggantinya dengan lampu tidur buatan Cina.
Akulah gadis yang bernama Nela itu, yang kini mulai tumbuh beranjak dewasa setelah kemarin merayakan ultah yang ke-17. Sama dengan apa yang pernah aku katakan dulu, sayapku akan tumbuh besar bersamaan dengan aku beranjak dewasa. Aku sendiri ragu apakah sayap ini bisa aku gunakan untuk terbang atau tidak, karena jujur aku tidak pernah mencobanya sejak ibu mengancam akan memasukkanku ke rumah sakit jiwa Santra Medika. Ancaman itu terasa sangat dalam dan menyakitkan, walaupun aku telah cukup dewasa untuk mulai bisa berfikir mengikuti dan mengerti kata orang lain. Kapan orang akan mengerti, memahami, dan mempercayaiku?, aku tidak berdusta sungguh.
"Nela, sekarang umur kamu sudah 17 tahun. Seharusnya kamu bisa berfikir apa yang seharusnya kamu pikirkan, jika seperti ini terus ibu bisa saja memasukkanmu ke rumah sakit Santra Medika" Dengan nada sesal bercampur kesal ibuku beranjak pergi dari kamarku dan itulah saat terakhir aku membahas tentang sayap yang ada di bahuku.
Lama setelah aku pulang sekolah memikirkan tentang diriku sendiri. Kupandangi cermin dengan seksama dan tanpa memalingkan sedikitpun rona mataku dari cermin di kamar. Ya aku yakin bahwa yang selama ini aku lihat adalah sayap, tapi kini aku sadar dengan apa yang selama ini tidak aku pahami bahwa ternyata tidak ada seorangpun yang bisa melihat keberadaan sayapku. Aku mulai menyadari bahwa ternyata aku juga tidak bisa melihat sayapku di cermin lain selain di kamarku, dan tidak bisa aku raba sayap ini.
"Sayang cepat tidur ya,ibu tidak mau kamu besok kesiangan".Derap langkah kaki terasa menuruni tangga.
"Ibuu....lihat bu, di bahuku mulai tumbuh sesuatu seperti sayap aku senang akan punya sebuah sayap" Teriak gadis kecil itu dengan lantang sembari meraba bahu di depan cermin kamarnya. Derap langkah kaki manusia menaiki tangga terdengar seirama dengan terbukanya pintu kamar Nela.
"Sayang kenapa belum tidur?, ibu khawatir nanti kamu sakit" Tangan lembut sesosok perempuan yang dipanggil ibu mendarat di kepalanya, mengelus dengan lembutnya.
"Tapi ibu harus lihat Nela punya sayap bu, Nela akan bis terbang"Celoteh gadis itu dengan manjanya mengusapkan wajah di perut perempuan yang dia panggil ibu.
"Iya ibu tahu, sekarang Nela tidur ya agar besok tidak kesiangan berangkat kesekolahnya.
"Tapi ibu percaya kan kalau Nela punya sayap? Nela akan mengajak ibu terbang ke bulan" Tatapan yang seolah meminta sebuah kejelasan.
"Iya ibu percaya sayang" Sembari beranjak mematikan lampu 25 watt dan menggantinya dengan lampu tidur buatan Cina.
Akulah gadis yang bernama Nela itu, yang kini mulai tumbuh beranjak dewasa setelah kemarin merayakan ultah yang ke-17. Sama dengan apa yang pernah aku katakan dulu, sayapku akan tumbuh besar bersamaan dengan aku beranjak dewasa. Aku sendiri ragu apakah sayap ini bisa aku gunakan untuk terbang atau tidak, karena jujur aku tidak pernah mencobanya sejak ibu mengancam akan memasukkanku ke rumah sakit jiwa Santra Medika. Ancaman itu terasa sangat dalam dan menyakitkan, walaupun aku telah cukup dewasa untuk mulai bisa berfikir mengikuti dan mengerti kata orang lain. Kapan orang akan mengerti, memahami, dan mempercayaiku?, aku tidak berdusta sungguh.
"Nela, sekarang umur kamu sudah 17 tahun. Seharusnya kamu bisa berfikir apa yang seharusnya kamu pikirkan, jika seperti ini terus ibu bisa saja memasukkanmu ke rumah sakit Santra Medika" Dengan nada sesal bercampur kesal ibuku beranjak pergi dari kamarku dan itulah saat terakhir aku membahas tentang sayap yang ada di bahuku.
Lama setelah aku pulang sekolah memikirkan tentang diriku sendiri. Kupandangi cermin dengan seksama dan tanpa memalingkan sedikitpun rona mataku dari cermin di kamar. Ya aku yakin bahwa yang selama ini aku lihat adalah sayap, tapi kini aku sadar dengan apa yang selama ini tidak aku pahami bahwa ternyata tidak ada seorangpun yang bisa melihat keberadaan sayapku. Aku mulai menyadari bahwa ternyata aku juga tidak bisa melihat sayapku di cermin lain selain di kamarku, dan tidak bisa aku raba sayap ini.
"Sayang cepat tidur ya,ibu tidak mau kamu besok kesiangan".Derap langkah kaki terasa menuruni tangga.
Masih terus aku pandangi tanpa
henti, tak ingin aku palingkan lagi pandanganku dari cermin yang ada di depan
mataku. Aku sungguh tidak mampu bagaimana cara melukiskan perasaanku saat ini,
antara senang sedih marah dan bingung yang tidak dapat aku lukiskan dengan seksama.
Aku benar-benar senang karena aku meiliki sayap yang aku bayangkan bisa seperti
burung terbang bebasnya di angkasa. Rasa marah muncul karena aku selalu menemui
jalan buntu setiap kali aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada
diriku. Aku yakin bahwa aku tidak gila dan tidak salah terhadap penglihatanku,
namun yang aku ragu kenapa tidak ada yang mampu melihat sayapku.
Hari ini aku ingin pulang lebih
awal dari biasanya, namun sahabatku menekanku hingga aku terpaksa menunda
kepulanganku barang sejenak beristirahat di kantin sekolah. Dari raut wajahnya
yang penuh teka-teki dan misteri, aku yakin akan ada kejutan yang seperti biasa
ia berikan padaku.
“Nela kemarin aku benar-benar
syok, antara aku merasa gila dan rasa amazing yang tidak ada habisnya”. Sambil
meneggak beberapa teguk es the manis buatan ibu kantin.
“Apa?”. Mendadak rasa bersalahku
muncul karena memberikan tanggapan yang tidak mengimbangi rasa semangatnya yang
terlihat berapi-api.
“Kemarin nenek cerita ke aku
kalau ada dimensi ke 81 “. Temanku yang bernama Disa memulai ceritanya,
“Dimensi ke 81?”. Dengan sedikit
ragu aku mengernyitkan kening karena memang aku tidak paham dengan apa yang
sedang dia bicarakan saat ini.
“Ya, jadi gini, nenek aku itu
cerita kalau dulu ada cerita turun temurun tentang suatu kehidupan diluar bumi
yaitu Dimensi ke 81 dan nenek aku bilang kalau kehidupan disana memang nyata
adanya”.
“Ya ampun, kamu sama nenek kamu
ga ada bedanya sama-sama jadi anak kecil lagi”.
“Nela, nenek aku juga udah
cerita bahwa mereka itu adalah makhluk-makhluk yang memiliki sihir yang wow aku
ga bis ajelasin sama kamu”.
“Sihir?, hari gini abad 21
percaya soal sihir?”.
“Dan satu lagi, mereka bisa
terbang karena memiliki sayap”.
“Sayap?”. Sejenak tiba-tiba aku
teringat kembali dengan sayap yang aku miliki.
“Iya, mereka punya sayap, dan
konon sudah banyak diterbitkan buku-buku yang berkisah tentang penghuni Dimensi
ke 81”.
“Kamu serius?”.
“Buat apa aku bohong sama kamu,
eh itu ibuku sudah jemput aku pulang dulu ya”.
Dimensi ke 81 menjadi pokok
pikiranku saat ini. Apa itu Dimensi ke 81 dan apa hubungannya dengan sayap yang
ada di punggungku, aku harus segera tahu jawabannya. Satu-satunya cara agar aku
tahu apa yang sebenarnya terjadi adalah aku membuktikan kata-kata Disa, terbang
dan bermain sihir. Aku bingung bagaimana dan apa yang aku lakukan, aku sama
sekali tidak tahu soal sihir yang selama ini hanya ada dalam imajinasiku yang
terlarut saat membaca novel Harry Potter. Aku harus mencoba apapun yang akan
terjadi aku tidaka perduli.
“Ayo fokus Nela, fokus angkat meja ini”.”ANGKAT!!!”. Aku benar-benar sudah
gila, meja di depanku terangkat. Aku benar-benar gembira ternyata akulah
makhluk Dimensi ke 81 yang aku pikir tersesat kie Bumi. Segera aku akan mencari
bukti yang lain, aku akan terbang.
“Fokus Nela, ayo terbang”. Aku
benar-benar terbang mengitari langit-langit kamarku dan jatuh.
“Oi Nela bangun, ternyata dari
tadi tidur pantas aja aku telfon ga diangkat tidurnya nyenyak banget”.
“Sayapku mana?, sihirku mana?”.
“Sihir?, sayap?, apaan coba?,
hahaha kamu mimpi ya?”.
“Aku mimpi”.
“Makanya kalau baca Harry Potter
itu jangan dihayati mendalam, bener kata Disa kalau Harry Pottet bisa nyihir
orang”.
“Bener Tante, hahaha nyihir
orang jadi mimpi punya sayap hahaha”.
“Apaan sih ibu sama Disa
ngejekin aku terus”.
Setelah peristiwa mimpi itu aku
jadi jarang dan bahkan mungkin sudah sangat malas untuk sekedar melihat sampul
dari buku-buku kakak yang berhubungan dengan cerita sihir, aku sungguh tidak
mau lagi menjadi seorang pemimpi sihir lagi.
Nama:Ananti
Primadi
SMA N 7 Yogyakarta
Kebahagiaan
untuk Kalila
Cerma: Ananti Primadi
Pasar sore dekat rumah sakit dokter
Sardjito masih lengang oleh aktivitas para penjual, Pantas karena jam juga
masih menunjukkan pukul sebelas siang. Sekelebat aku melihat lalu kulirik lagi
arloji tuaku, ya ampun kupikir aku harus segera mengganti dengan jam tangan
yang baru meskipun mungkin tidak harus mahal pula. Sejak ayah meninggal dua
tahun lalu aku tidak pernah memiliki cukup waktu untuk berpikir hal yang lain
diluar kuliah dan pekerjaan sampinganku, dua puluh empat jam pun kurasa tak
cukup untuk aku menyelesaikan semua tugas yang aku miliki yang terkadang
membuat aku selalu menjadi gadis hanya bisa menatap gundah orang-orang yang
bisa dengan leluasa bermain dan mungkin hanya butuh waktu sedikit untuk
menyelesaikan tugas mereka.
Aku sudah bejanji dan aku sudah
mematrikan hatiku untuk tidak mengeluh terhadap apa yang kualami saat ini. Aku
selalu ingat pesan dari almarhum ayah bahwa hidup itu memang pahit namun tidak
akan sepahit ketika kita meminum kopi yang tanpa gula dimana kita tidak akan
pernah menemukan rasa manis, tetapi hidup ini adalah perjalanan dimana kita
tidak akan berhenti pada satu persinggahan. Pahit dan manis kucoba rasakan dengan
kelegaan yang menurutku akan sedikit membawa rasa netral, jika terselip sedikit
pahit maka akan tetap terasa manis. Aku selalu berusaha untuk tetap tersenyum
pada mentari yang siang ini membakar kerinduanku pada ayah, hari ini tepat dua
tahun tanggal kepergian ayah yang sangat aku cintai. Aku tidak akan berdesis
seolah aku adalah gadis yang malang dengan ibu tiri yang kejam, aku sudah
membuang jauh-jauh pikiran itu dan dimataku ibu tetaplah sosok yang patut untuk
sekedar aku banggakan di hadapan kawan-kawan kampusku.
Sembilan belas tahun yang lalu dua
anak perempuan kembar dari Panti Asuhan Firdaus itu diadopsi oleh keluarga
Utama Hadijaya, sebenarnya sang istri tidak pernah berniat untuk mengadopsi
keduanya karena dalam keluarga itu hanya didambakan satu orang anak perempuan,
namun karena Pak Utama tidak tega memisahkan kedua saudara maka jadilah dua
saudara kembar itu diadopsi bersama-sama meski sang istri tidak pernah setuju.
Akulah Alina Lilya Khanisa dan kakakku Kalila Jasmine Nasrita yang menurut ibu
Mery bunda kami di panti bahwa kami ditinggalkan begitu saja di depan gerbang
panti tanpa ada siapapun hanya ditemani oleh balutan pakaian dan selembar
kertas berisikan nama kami berdua. Ibu Rarasari Dewi adalah ibu kami, ibu dari
seorang Alin dan Lila yang selalu tidak pernah melihat keberadaan Alin dalam
kehidupannya. Aku selalu sadar kami memang berbeda, Lila kakakku tumbuh menjadi
gadis yang sangat cantik, cerdas, sempurna dalam segala hal yang sangat
berseberangan dengan diriku.
Lila saudara kembarku itu sangat
beruntung, dia dicintai oleh ayah dan ibu angkat kami, dia tumbuh menjadi gadis
cantik nan cerdas. Selalu masuk ke sekolah favorit adalah cerita yang mewarnai
setiap nuansa saat kami mencari sekolah, lemah lembut nan sabar adalah hal yang
ada pada diri Lila hingga dia menjadi anak satu-satunya yang bisa dibanggakan
dalam keluarga kami. Semua teman yang mengenal Lila pasti akan senantiasa ingin
dekat dengannya, dan mungkin aku sungguh ingin berkata jujur bahwa aku tidak
pernah bisa menemukan sedikitpun cela yang ada padanya, semua hal yang bisa aku
lakukan dia lebih menguasai dan hal baik yang tidak bisa aku lakukan dia bisa
lakukan dengan sangat sempurna. Aku tidak pernah ingin menjadi orang yang iri
pada saudaraku sendiri, aku juga tidak akan pernah membencinya walaupun karena
dia aku selalu dipandang sebelah mata oleh orang lain. Aku selalu tahu tentang
Lila karena dia sangat menyayangiku, aku tahu dia tidak pernah meminta Tuhan
untuk memberikan kelebihan itu padanya kelebihan yang seharusnya dibagi berdua
hanya untuk dia semata. Aku tahu kalaupun dia bisa lakukan dia akan berikan
semua yang dia punya untukku kecerdasan, kecantikan, dan segenap
kesempurnaannya.
***
Kuliah telah usai dan hubunganku dengan Ardan telah
berjalan satu tahun, bulan depan Ardan berjanji akan membawaku ke rumah orang
tuanya. Aku sangat bahagia dan merasa sangat beruntung karena memiliki Ardan
yang sangat menyayangi dan menjagaku setelah Lila tidak bisa lagi selama
duapuluh empat jam menjagaku karena aku harus pindah dan kost di dekat kampus
di daerah Bulaksumur. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena Ardan bisa
mengobati lukaku setelah kehilangan ayah, menjadi sosok penggangti ayah yang
mampu menjagaku meskipun aku tahu ayah tidak akan terganti oleh siapapun termasuk
Ardan.
Sore ini angin begitu semilir meneduhkan setiap insan
yang disapanya, menyejukkan dan menghapus bayangan luka yang ada di setiap
wajah-wajah nan lelah di komplek Mekarsari tempat dimana aku bertempat tinggal
kost. Mendung tak stebal biasanya saat musim hujan entah apa yang sedang
direncanakannya dalam persembuyian sepi yang seolah ingin berlomba dengan
diriku. Gerangan apa yang akan terjadi biarlah terjadi yang terang aku bahagia
telah diberi kesempatan untuk menikmati
segala hal yang kumiliki sampai saat ini, yang entah mengapa aku selalu ingin
berteriak aku tidak ingin kehilangan apa yang kumiliki. Ternyata suasana sore
ini sengaja menundukkanku agar pulang untuk menjenguk Lila dan ibu sungguh aku
sangat merindukan mereka.
Rumah ibuku sungguh tidak berubah, tetap megah dengan
segala aset yang berhasil dikumpulkan oleh ayah kami ayah angkat kami. Aku
merenung rumah sebesar ini semenjak kepergian ayah dua tahun lalu terasa sangat
sepi karena tidak akan ada lagi karyawan yang ayah ajak pulang untuk diajak
merundingkan pekerjaan. Aku langsung masuk ke ruang tengah karena aku sangat
hafal bahwa jam-jam saat ini ibu selalu memberikan wejangan pada semua anggota
keluarga seperti yang dulu seringa ayah lakukan.
“Tapi bu Lila kan belum kenal sama orang itu masak
langsung ada acara pertunangan segala, apa itu tidak terlalu terburu-buru?”
“Ibu sudah kenal dengan keluarga itu sejak lama, ibu
bahkan mengamati sendiri calon tunanganmu itu karena ibu benar-benar ingin
memastikan dia layak menjadi suamimu Lila”.
“Iya tapi setidaknya kenalkan dulu Lila sama orang itu,
namanya saja Lila belum tahu”.
“Ardhan Nuraga Saputrawijaya putra dari Hutama
Saputrawijaya pemilik Hotel Kenanga Wulan itu”.
“Degg”
Jantungku serasa
ingin berhenti berdetak kala itu juga, tidak ada yang bisa aku ucapkan untuk
hal ini bahkan perasaanku pun tidak bisa aku lukiskan. Aku menyerah dengan apa
yang telah Tuhan putuskan, inilah jawaban dari munculnya rasa ketidakrelaanku
selama ini. Beribu tanya tak bisa aku enyahkan dari otakku, kenapa harus Ardhan
dan kenapa harus kakakku yang ditunangkan dengan orang yang sudah kuanggap
membawa separuh nyawaku.
Mendung membayangi perjalananku sore ini ke makam ayah,
trimakasih ayah kau telah memberikan pemahaman dan mengajarkan padaku banyak
hal hingga aku bisa belajar menjadi orang yang mampu untuk belajar memahami
arti sebuah rasa kehilangan. Aku berjanji ayah atas nama langit dan bumi akan
kuberikan kebahagiaan itu untuk kakakku.
Cinta Untuk Matahari
Cerma:Ananti Primadi
Di tempat itu aku biasa melihatnya
termenung menanti senja, duduk terdiam memainkan ujung bajunya yang mulai kusam
dimakan usia. Dia biasa memanjangkan kaki, membiarkan ujung kakinya
dipermainkan ombak yang datang silih berganti menerpanya. Menikmati hempasan
angin yang dengan lembut seolah ingin menghibur dari lelah yang seakan tak ada
habis datang dalam setiap kehidupan. Lama aku mengamati tiap hembusan nafasnya,
tapi hari ini aku tidak menemukannya di tempat biasa dia terduduk. Ada yang hilang dari pandanganku hari ini, yang
biasa aku menemukannya duduk dengan tenangnya di tengah persoalan yang mungkin
tengah menghimpitnya.
Dia hilang hari ini karena aku tidak
menemukannya, aku sendiri juga tidak mengerti kenapa aku begitu merasa kehilangan saat aku tidak menemukannya terduduk
di tempat biasa dia memandang langit. Aku memang tidak tahu apa yang dia
pandangi, namun dari gaya dan rona wajahnya agak menengadah aku jadi semakin
yakin bahwa dia sedang berfikir sesuatu tentang langit atau sejenisnya. Apa
yang sedang kupikirkan, menghabiskan waktuku hanya untuk menganalisa apa yang
bukan menjadi urusan dari kehidupanku. Aku berfikir bahwa mungkin gadis manis
itu hanya sedang kesepian namun apakah tidak ada hal yang bisa membuat dia
sedikit terhibur dari rasa kesepiannya. Hari sudah mulai menunjukkan
keusaiannya karena malam akan segera menjemput, aku segera beranjak pulang.
Awan terlihat begitu cerahnya,
dengan sedikit semilir angin yang masuk lewat jendela angkot yang sedang
kutumpangi membuatku sedikit ingin tidur barang beberapa menit. Aku segera
sadar bahwa di depan sudah nampak gerbang Pantai Pandanwangi di tepian ujung
kulon sekitar 1 km dari tempatku menghabiskan malam. Aku segera turun setelah
membayar ongkos angkot yang aku tumpangi. Memandang lepas ke lautan membebaskan
segenap sesak yang kudapat hari ini rasanya sungguh nyaman. Dihinggapi rasa
penasaran membuatku segera beranjak ke tempat biasa aku melihatnya duduk
termenung dan aku menemukannya, entah apa yang kurasa yang pasti aku memiliki
rasa dan kekuatan untuk mengetahui siapa dan apa yang dia lakukan di pantai
ini.
Baru saja aku meletakkan pantatku di
samping dia terduduk seperti biasa, rasa penasaran begitu memburuku.
“Apakah kamu juga mencintai
Matahari?”. Aku tidak menyangka secepat ini awal perkenalanku dengan gadis itu.
“Maksud kamu?”. Mulai kuberanikan
diri untuk mencoba tahu lebih dalam tentangnya.
“Aku hanya sedang ingin mencoba
untuk mencintai apa yang seharusnya aku cintai, bukankah kita manusia sering
mencintai hal yang tidak bisa untuk kita cintai dan mengabaikan hal yang
seharusnya kita cintai”. Aku tidak menyangka dari rona wajahnya yang terlihat ingin diam
ternyata hanya ibarat misteri yang tidak bisa dipecahkan orang lain.
“Cinta matahari?” .Aku mulai berani
bertanya.
“Ya, aku pikir matahari sangat
berjasa dalam hidupku setelah kedua orang tuaku dan aku ingin mencintainya.
Sungguh gadis aneh pikirku. Ya baru
beberapa hari ini aku memang dilanda kesedihan karena dikhianati oleh calon
tunanganku, tapi entah mengapa gadis ini seolah mampu membuat aku melupakan
Reina barang beberapa jam.
“Kenalkan, namaku Rendra, kamu?”.
Aku berusaha mendekat di sampingnya.
“Namaku Tari aku tinggal di seberang
jalan gerbang Pantai rumah no 5 dari arah Tanjung Pura.
“Sudah pukul lima aku harus segera
pulang, aku duluan ya Tari”. Sungguh perkenalan yang tidak akan pernah aku
lupakan karena sungguh, Tari telah mengubah jalan pikiranku yang semula sempit
menjadi selebar samudra.
Karena Tari aku mampu melupakan
Reina, karena Tari aku mampu memandang hidup dengan penuh arti walaupun
pertemuanku dengan Tari hanya waktu itu. Aku janji akan menemui Tari dan sangat
berterimakasih padanya karena dia telah mengubahku.
Sudah seperempat jam aku melalui
perjalanan sepulang kampus menuju pantai Pandanwangi. Tepat di arah barat daya
gerbang pantai kurasakan laju angkot semakin pelan kasak kusuk penumpang dalam
angkot mengataka bahwa telah terjadi tabrak lari di depan gerbang pantai. Entah
apa yang aku rasakan semua bercampur menjadi satu dan akhirnya aku memutuskan
turun dari angkot dan berjalan ke arah kerumunan massa yang melihat lokasi
kecelakaan.
“Ada kecelakaan apa pak?” Tanyaku
pada seorang tukang becak yang kebetulan ikut mengangkat korban kedalam mobil.
“Itu dek gadis yang rumahnya no 5
itu jadi korban tabrak lari, baru saja dia keluar rumah katanya mau menuju
pantai sayang dia langsung meninggal dan ini jenazahnya mau diotopsi di rumah
sakit”. Deg jantungku serasa berhenti berdetak naluriku mengatakan aku harus
segera melihat korban tabrak lari itu.
Setelah memohon kepada petugas
ambulan akhirnya aku diizinkan melihat, aku tak percaya dengan apa yang aku
lihat. Tubuh itu terbujur kaku tidak berdaya, tak kuasa aku melihatnya tak
mampu aku berkata-kata seperti apa yang tadi hendak aku katakan padanya. Aku
hanya bisa berkata.
“Trimakasih Tari, berkat kau aku
sekarang tegar dan bisa melupakan Reina, apakah kamu percaya jika aku telah
mencintai matahari?,Tari aku berhasil mencintai matahari karena aku pikir kamu
memang benar.
Selamat jalan Tari, cintamu pada
matahari akan abadi untuk selamanya. Sepanjang perjalanan aku duduk terdiam
memandangi Tari yang akan segera menuju surga.
Dendam Bunga Sendang Galuh
Cerpen:Ananti
Primadi
Aku masih termanggu dengan sunyi
yang terus mengiris kalbuku, tak perduli dengan hatiku yang berteriak merasakan
kebekuan yang teramat sangat. Jujur aku ingin semua seperti dulu saat dimana
anganku belum membentur tembok kenistaan seperti sekarang ini. Aku muak dengan
keadaan ini, dengan semua kehinaan yang entah akan aku lalui sampai waktu yang
tak mampu aku perkirakan. Aku marah dan sangat tertusuk begitu dalam, ingin
rasanya aku menyalahkan keadaan ini namun apakah semuanya akan berbalik normal
seperti mudahnya membalikkan telapak tangan tentulah tidak, maka kuurungkan
niatku untuk memaki keadaan yang tak kunjung berpihak barang sedetikpun pada
kehidupanku yang papa.
Ingatanku
kembali menerawang jauh di aroma enam belas tahun yang lalu, menghirup segenap
luka yang saat ini semakin menganga dengan lebarnya tanpa pernah ada obat yang
mampu untuk menyembuhkannya. Semakin
waktu kutapaki pelan-pelan semakin banyak garam yang tertabur dalam luka itu,
membuatku semakin hari semakin sulit untuk menemukan oksigen di tengah kubangan
karbon monoksida yang mematikan. Masih adakah oase itu lalu dimanakah
dia, kenapa sepanjang aku berlari
bermil-mil di gurun gersang aku hanya menemukan fatamorgana, sungguh aku sangat
lelah dan kehausan. Aku hanyalah manusia biasa yang mungkin terlahir tanpa
takdir yang begitu mengesankan, Sri Wulansih yang dilahirkan dari rahim
perempuan desa bernama Paini dan suami bejatnya yang bernama Kurdi.
***
“Prangggg”,
Aku
meyakini bahwa tidak lama lagi barang pecah belah di rumahku akan segera habis
tersapu oleh tangan biru ibuku, aku tidak menyalahkannya bahkan kalau aku
berada di posisinya aku juga akan melakukan hal yang sama. Suara tangis dan
cacimaki masih terngiang jelas di telingaku, tamparan dan pukulan entah mencari
tempat dimana lagi karena semua bagian tubuh ibuku sudah penuh dengan luka yang
diberikan oleh ayahku. Aku hanyalah anak usia delapan tahun yang hanya bisa
menangis pilu dengan takdir yang sama sekali tidak bisa kupilih, bagiku hidup
adalah menjalani apa yang telah tergores di tangan Tuhan tanpa sebuah pilihan.
Saat seperti ini aku hanya bisa bergumam lirih dalam hati, semoga Tuhan sedikit
mengasihani keluargaku dan segera menyelesaikan cerita ini dengan akhir yang
bahagia walau hanya dalam anganku saja.
“Wong lanang kurang ajar, wes semene wae
bebrayan karo kowe, pisah wae nek kaya ngene(laki-laki kurang ajar, sudah
cukup sampai disini berumah tangga denganmu, berpisah saja kalau seperti ini)”,
“
Jujur
kukatakan ayahku memang seorang bajingan busuk yang hanya bisa merobek hati
ibuku. Aku sangat membencinya untuk saat ini, dimasa lalu dan seterusnya sampai
nafas akan meninggalkan ragaku, dan
ingin membunuhnya dengan tanganku sendiri terhadap apa yang pernah dia lakukan
padaku dan ibu. Kesempatan yang telah diberikan ibuku padanya terlalu mulia
untuk diacuhkan demi memuaskan nafsunya berpetualang menjajagi tubuh janda liar
di ujung desa yang kelam bagiku. Aku tidak perduli lagi kalaupun Tuhan mengutukku
menjadi anak durhaka karena memaki ayah kandungku sendiri, namun sungguh hatiku
teramat membatu untuk makhluk yang bernama lelaki. Aku pernah bersumpah atas
nama langit dan bumi akan kumusnahkan rasaku terhadap laki-laki, laki-laki
hanyalah rendah mereka tidak lebih dari sekedar binatang malam yang kehausan
akan tetesan embun pagi yang tidak akan pernah mereka dapatkan..
***
Dingin
semakin mencengkeram tubuhku yang sangat kotor dan menjijikkan ini, mereka para lelaki pemuja nafsu dunia
merangkak di bawah kolong kakiku untuk sekedar bisa menyentuh tanganku. Aku
mungkin memang seorang perempuan lacur, namun entah mengapa aku menolak
dikatakan menjual tubuh demi segepok uang. Bukan uang yang aku cari tapi kepuasan melihat
para lelaki bajingan itu merengek-rengek dihadapaku, hanya untuk sekedar
memohon kutemani satu malam saja. Sejenak aku merindukan ibuku yang mungkin
telah bertambah tua, bagaimanakah keadaannya di desa masihkah seperti dulu dan
akankah dia mampu menjahit lukanya saat ayah terkutuk itu melukainya lagi. Otakku
mulai membentur angan yang tak kunjung berbatas, kosong dan jauh menerawang
menembus batas-batas angin yang telah lelah untuk membawa harapanku kembali,
namun untuk saat ini kekuatan yang
kuhimpun belumlah cukup untuk berani sekedar memandang wajah ibuku.
Hp
ku berdering sebuah sms telah memasuki kotak inbokku, sebuah pesan singkat
masuk dari lek Kasno pamanku yang rumahnya berseberangan dengan rumah ibuku di
desa
“Ibumu loro mlebu rumah sakit meneh,
bapakmu kedanan Sulastri digrebek sak deso digebuki karo warga”,(Ibumu sakit
masuk rumah sakit lagi, ayahmu tergila-gila dengan Sulastri lagi, dipukuli oleh
orang-orang kampung)”
Hatiku berdesis
sembilu teramat kaku, sungguh aku ingin
berteriak menumpahkan sesak yang mungkin tak lekas beranjak dari dadaku.
Keluargaku telah hancur dan aku hanyalah anak yang terkutuk yang lahir dari
istri seorang bajingan yang kini masuk ke penjara karena tangannya membawa kain
jarik yang terbukti digunakan untuk mencekik selingkuhannya, entah setan mana
lagi yang merasuki jiwa ayahku setelah terlalu banyak iblis yang merasukinya
hingga aku tak tahu lagi. Aku tahu ibuku sangat menderita dan terluka dan aku
hanyalah seorang anak jalang yang tidak berguna dan tidak bisa melindungi saat
ibuku mungkin telah tersakiti lagi. Aku sadar bahwa untuk saat ini aku tidak
berbeda dengan ayahku, sungguh anak dan ayah yang hidup di dunia sebagai
seorang pendosa, aku tahu aku tidak berbeda dengan ayahku yang sejatinya selalu
menyakiti ibuku. Jika aku berani berfikir satu langkah lagi mungkin aku lebih
kejam daripada ayahku, aku menyakiti ibuku tanpa pernah dia sadari apa yang
sebenarnya aku lakukan.
Suara
adzan berkumandang merdu dan indah di telingaku, sejujurnya aku sangat ingin
memeluk Tuhan karena aku sangat merindukannya, tapi aku hanya mampu selalu
menggigil lesu sembari bertanya apakah Tuhan mau didekati oleh manusia kotor
dan hina seperti aku dan jawaban itu entahlah aku tak mampu berfikir lagi. Aku
ingin kembali dan aku ingin menemui ibuku memohon maaf atas dosa yang telah aku
lakukan, ibu sungguh aku sangat munafik bahwa aku selalu berkata aku
mencintaimu namun ternyata aku melukaimu. Sungguhpun harus saat ini Dia mengambil
nyawaku dan memasukkan aku ke neraka, aku tidak pernah menyesal karena aku
sadar atas semua dosa besar yang telah aku lakukan, namun tolong izinkan aku
memohon maaf dulu pada ibuku.
“Maaf,
mbak kami sudah berusaha namun penyakit TBC yang ibu Paini derita sudah sangat
parah, harusnya beliau dibawa ke rumah sakit di kota dari dulu supaya dapat
perawatan intensif”.
Semua
sudah berakhir Tuhan, aku tidak mampu berfikir apapun lagi. Tentang masa depan
yang bagiku jalan merengkuhnya teramat sangat gelap, sungguh hatiku telah
berada di tepi jurang yang mungkin tak pernah akan ditemui batas akhirnya. Sampai aku bertemu dengan seseorang yang mampu
menundukkan hatiku, membuatku percaya lagi bahwa Tuhan tidak pernah ragu untuk
mengampuni dosa makhluknya sebesar apapun itu asal tidak menyekutukannya. Aku
selalu berfikir bahwa kedatangannya adalah anugrah yang mungkin datang
terlampau akhir dalam drama yang aku lakoni,
namun segera kutepis bahwa mungkin Tuhan sengaja mengirimkannya untuk
menjemputku yang tersesat dalam jalan yang begitu gelap tanpa lentera.
***
Semua
yang telah direndanya sebagai angan inda menjemput impian masa depan telah
pupus, semua telah menyadari bahwa tiada berbenteng kuasa yang dimiliki oleh
pemilik jagat raya ini. Semua yang telah dicurahkannya seakan telah raib tanpa meninggalkan sebuah kesan yang
berarti bagi yang dicintainya, butuh waktu yang tak cukup tiga tahun untuk
meyakinkan yang dicintainya bahwa tidak semua laki-laki di dunia ini adalah
seperti ayahnya. Ternyata bukan seperti itu yang semua orang inginkan tetapi
Sri Wulansih telah memilih apa yang telah ada di hadapannya, menjalani hidup
tanpa seorang ibu yang amat dikasihinya membuatnya lebih membakar dendam
dibanding saat kehilangan ayah karena ulah janda di ujung desa.
“Kalau
kamu masih memilih perempuan lacur itu maka semua kekayaan yang ayahmu wariskan
akan aku bekukan, aku tidak pernah sudi berurusan dengan wanita kotor seperti
itu”,
“Kalau
ibu mau lakukan saja sesuai kemauan ibu, semua orang punya masa lalu tidak ada
manusia sempurna dan karena ketidaksempurnaanyalah manusia mencari pasangan
agar bisa saling melengkapi dengan sempurna”,
“Kamu,
berani melawan ibumu hanya karena wanita jalang itu, kamu akan menyesal Radho”,
“Ibu,
semua yang terjadi adalah atas restu ibu, tapi jika ibu telah berkata demikian
mungkin memang benar hidupku akan penuh penyesalan namun biarkanlah aku
menjalani penyesalan itu bersama orang yang aku cintai bu”,
Gerimis
masih enggan untuk menghentikan aktivitasnya, seorang pemuda menggungguk lesu
di samping sebuah gundukan tanah yang masih terasa beraroma siraman air kelapa.
Entah apa yang akan dikatakannya pada ibunya kelak, dia mungkin sangat malu
atas peristiwa ini, bunuh dirinya seorang pelacur yang coba dia sadarkan dari
gelimang maksiat. Sungguh waktu tiga tahun bukanlah pendek bagi perjuangan yang
dilakukan seorang anak bupati yang telah memilih takdirnya untuk mencintai
seorang mantan pelacur yang dendam
kepada ayahnya sendiri. Cinta telah menentukan takdirnya dan mungkin semua
sudah sampai pada batas yang tidak mampu ditembus oleh tangan-tangan kecil
manusia.
Dia mencoba mengingat apa saja yang
telah dia lakukan untuk perempuan lacur yang telah tidur untuk selamanya di
bawah gundukan tanah kuburan, mencoba membimbing dan memberi pengertian bahwa
segala yang terjadi adalah hal yang harus terjadi dan mencoba membalas dendam
pada keadaan adalah hal konyol yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Satu
hal yang membuat pemuda itu selalu mengingat kekasihnya yang lacur yakni tidak
pernah menentang ibunya, hal yang justru dilakukan oleh pemuda itu saat
mengutarakan niat untuk meminang Sri Wulansih dari desa Sendang Galuh.
Komentar
Posting Komentar